http://albstroka.com/wp-content/uploads/2012/04/aurora.jpg |
Aku memikirkan ucapan Aurora, beberapa waktu kemarin. Ia bicara
tentang panas yang membakar dan kesendirian yang hanya dia miliki sendiri. Tak
terbesit sedikitpun perasaan sedih pada nada bicaranya yang selincah kancil. Semuanya
seperti biasa saja terjadi, bahkan tanpa ada satupun nada fals pada ucapannya.
Merdu terdengar, seperti nyanyian kaum Elf yang menyanyikan pohon dan
bunga-bunga.
Kesendirian sering membuat seseorang terluka. Meski tidak sedikit pula
yang menjadikannya sahabat sejati. Ketika semua hal seperti duri, kenapa tidak
menyendiri seperti mawar diujung tangkainya? Meski dibawahnya, ratusan duri
runcing siap mencabik, namun ia indah menengadah menatap matahari dengan
berani. Tak ada risau sedikitpun. Bahkan tidak pun keraguan-keraguan muncul
dalam warnanya. Semuanya jelas dan percaya diri.
“ Tuan! Mengapa mendengadah begitu kosong? Tidakkah hari ini, kau juga
mangagumi kecantikan ku?”
Aku terkejut ketika tiba-tiba dia datang sore itu. Aku menengadah kosong, memang. Memikirkan dia, kemarin lalu, dan dia datang lagi begitu cepatnya hari ini. Mengagetkan dan membuyarkan lamunan yang juga tentang dia.
“ Ah, kau rupanya, Aurora. Berhentilah mengagetkan aku begitu rupa.
Meski keindahan mu tiada taranya, namun dengan sikap seperti itu, kau jadi
seperti kekanak-kanakan,” runtukku.
Aurora berhembus, memudar. Angin sepoi sore itu, menerbangkannya
pelan-pelan. Aku kaget.
“ Hey, beginikah kau pergi, setelah mengagetkan aku? Sungguh tidak
adil, Bahkan jantung ku masih berdetak kencang karena terkejut tadi,” ujarku.
Meski sebenarnya aku tidak ingin ngomel kepada bentuk secantik itu. Aku, hanya
tidak rela dia pergi begitu cepat. Meski sudah berkali-kali diperingatkan,
bahwa panasnya membakar, namun aku masih tetap ngotot untuk bisa berkali-kali
berjumpa dengan dia.
“ Bukankah kau tadi tak suka diganggu, Tuan?” katanya lirih. Kali ini,
nadanya sedikit terdengar sendu.
“ Jangan begitu. Aku hanya tidak siap untuk kau kagetkan begitu tadi.
Kembalilah, mari bercerita tantang duniamu di langit sana, dan aku dibumi
sini,” aku menawarkan.
Langit perlahan berubah menjadi toska. Hijau kebiruan perpendar indah,
menggurat awan putih yang membungkus biru langit sore. Tuhan, sebeginikah
ciptaanMu?
“ Apa yang ingin kau dengar tentang langit, Tuan? “ tanyanya, sejurus
kemudian.
Aku berfikir seberapa detik, kemudian bertanya, “Apa benar Tuhan ada
dilangit? Jika iya, apa kau pernah bertemu dengan Dia?”
Aurora berhembus memudar kembali. Meninggalkan bekas-bekas rona yang
hampir kasat mata. Seperti pelangi yang terhapus karena titik-titik air yang
semakin memudar. Dan langit sore itu sedikit demi sedikit menjadi semakin
gelap. Dan pada saat aku berfikir Aurora memang benar-benar sudah meninggalkan
aku, dentuman keras terdengar dilangit. Petir menyambar dengan kilat yang
membentuk seperti trisula. Dari sini, semuanya begitu indah.
Aurora, kemana kau pergi?
(bmkr/1303)
Comments
Post a Comment