Skip to main content

Lelaki : Ketika Katak Telah Menjadi Lembu

Tidak ada seorang manusia pun di dunia ini, terlahir karena dia ingin miskin. Ingin lho yah, bukan karena memang harus miskin. Ada kalanya kemiskinan adalah sebuah keharusan yang tidak bisa kita pungkiri, seperti kita tidak bisa menghindarkan terjadinya bencana alam seperti gempa bumi atau gunung meletus.

Pepatah katak hendak jadi lembu, sepertinya tidak terlalu salah pada masa sekarang ini. Dahulu, ketika jaman sekolah dasar, kita selalu dicekoki dengan cerita seekor katak yang dengan congkaknya ingin menyaingi si lembu. Katak yang bertubuh imut, kemudian menelan nafas banyak-banyak hanya untuk berambisi menjadi sebesar lembu. Tapi itu jaman dulu, ketika belum ada istilah operasi pelastik atau pinjaman tanpa agunan dari bank. Kini, ceritanya sudah berbeda sama sekali. Nyaris seratus delapan puluh derajat perbedaannya.

Kenyataan yang terjadi sekarang, betapa kita liat banyak sekali katak yang telah jadi lembu. Kalau kita ibaratkan mereka adalah orang-orang yang secara finansial tidak memadai, berkat kerja keras dan kesungguhan meraka sekarang menjadi juragan-juragan yang dapat dengan mudah menjentikan jari untuk keinginannya. Mereka berambisi. Mereka punya kemauan untuk menjadi maju.

Labih jauh dari itu semua, nasib menentukan mereka kemudian menjadi lebih lembu. Siapa yang bisa melawan nya? Itu, seharusnya menjadi ujian buat mereka. Ujian, karena yang lain tidak bisa selembu mereka. Kenyataanya, lembu-lembu tetap menjadi pekerja kelas rendah dibawah katak-katak yang sekarang menjadi tuan bermahkota intan berlian. Bukan salah memang, namun ketidak siapan katak menjadi raja, justru membuat dia kelihatan konyol. Kadang, tidak pernah mendengar, kadang malah tidak mau peduli. Semuanya bisa dibeli dengan uang, sehingga kadang, kebebasan dan privasi juga seperti seharga dengan beberapa rupiah.

Bodohnya lagi, lembu-lembu mau saja dibegitukan. Tdak pernah menganggap dirinya lembu sehingga mau, di lembu-lembukan oleh katak.

Perubahan pola hidup dan kenyamanan itu, kemudian menjadi pemicu terbengkalainya kearifan sosial yang seharusnya menjadi akar budaya bangsa. Norma-norma yang tidak mengenal dirinya, karena merasa lebih hebat dan lebih jago dari yang lain, kemudian menjadi sebuah pemicu timbulnya friksi sosial dimasyarakat.

Jadilah katak, jangan jadi lembu. Sebab katak bisa menjadi lembu namun lembu tak bisa sekecil katak.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny