Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2012

Lelaki : Hemingway dan Bis Tua

Jalanan remang. Lampu-lampu berwarna kuning, menerangi jalanan yang masih basah sehabis diguyur hujan sore tadi. Genangan air masih terlihat dibeberapa tempat. Dan berserakan tiap kali tergilas roda-roda kendaraan, yang seakan tidak pernah berhenti. Saya duduk di bangku paling belakang sebuah bus tua kumuh. Sebelah saya, kosong. Joknya, sudah tidak mulus lagi. Kain putih setengah sandaran yang bertuliskan bacaan doa perjalanan, terlihat kumal. Namun, masih jelas terbaca sederet huruf arab dan sederet huruf latin dibawahnya. Saya, menyerahkan diri pada Tuhan, dalam perjalanan ini. Dari jendela, yang kacanya bisa digeser dengan mudah itu, saya melihat lalu lalang orang-orang. Dalam diam. Semua bergelut dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam berdering lagu india, terdengar nyaring dari bangku depan, diikuti dengan suara halo dan kemudian halo lagi, berulang tiga kali, yang nyaring. Seorang perempuan, duduk disebelah saya. Sikapnya lugas. Lincah bergerak dan santun permisi diantara k

Lelaki : Diujung Sabar

K ata orang, yang namanya sabar itu, seharusnya tidak berujung. Dia harus merupakan sebuah siklus tanpa batas. Sabar itu, tak ada ukuran pastinya. Yang jadi pertanyaan, adalah kenapa Tuhan menciptakan rasa sabar itu, seperti menciptakan buih, sedangkan menciptakan benci seperti gelombang samudra.. Saya mengharapkan sebuah peristiwa penting terjadi belakangan ini. Kejadian, yang berharap kepada perubahan sebuah prilaku, perubahan sebuah etos yang selama ini digadang-gadang. Buat apa pujian? Toh, semuanya bumbu dalam sebuah pembicaraan yang sudah hampir mati. Dia bahkan kelihatan seperti pertikaian emosi antara manis senyum dengan muntah tertahan yang akan dihempas begitu menemukan tempat yang pas. Letih betul hati menunggu permainan itu. Dia mengombang ambing separuh jalan hidup. Menjagakan tidur. Melaparkan makanan. Dia, seperti bius yang melenakan, justru sebelum darah memendarkan racunnya dalam tubuh. Ibaratnya, mencium aroma sajian, dan kenyang sebelum memakannya. Yah, itu per

Bolehkah Terus Bermimpi?

Saya terenyuh. Merenungi lagi baris-baris kata yang kau tuliskan tentang perasaan mu kepada ku, jauh dulu. Ada kekeliaran imajinasi yang berpadu menjadi harapan yang mendebur-debur seperti ombak kepantai. Teratur, tak pernah ada yang mau loncat lebih dahulu. Rapi susul menyusul seolah itulah takdir yang memang harus dijalani. Ada rumah kecil diujung kota. "Mlipir" dari kebisingan ibukota yang tidak pernah tidur. Menyajikan udara bersih lebih banyak untuk dihirup rongga dada. Ada anak-anak kecil berlarian riang, dalam seragam sekolah meraka yang rapi. Berteriak memanggil yang lain, dengan botol air minum yang terombang ambing dipinggang. Tak ada yang mengantar, mereka belajar untuk mandiri. Itu, dijalan depan rumah kita. Secangkir kopi pahit tanpa gula, tersaji dimeja kecil kita, yang kita pakai sebagai meja makan, tempat "nongkrong" ketika pulang bekerja, ketika bercanda merencanakan untuk punya momongan. Dirumah ini, kita adalah tuan sekaligus pembantu. Halama

Lelaki : Bolehkah Terus Bermimpi?

Saya terenyuh. Merenungi lagi baris-baris kata yang kau tuliskan tentang perasaan mu kepada ku, jauh dulu. Ada kekeliaran imajinasi yang berpadu menjadi harapan yang mendebur-debur seperti ombak kepantai. Teratur, tak pernah ada yang mau loncat lebih dahulu. Rapi susul menyusul seolah itulah takdir yang memang harus dijalani. Ada rumah kecil diujung kota. "Mlipir" dari kebisingan ibukota yang tidak pernah tidur. Menyajikan udara bersih lebih banyak untuk dihirup rongga dada. Ada anak-anak kecil berlarian riang, dalam seragam sekolah meraka yang rapi. Berteriak memanggil yang lain, dengan botol air minum yang terombang ambing dipinggang. Tak ada yang mengantar, mereka belajar untuk mandiri. Itu, dijalan depan rumah kita.  Secangkir kopi pahit tanpa gula, tersaji dimeja kecil kita, yang kita pakai sebagai meja makan, tempat "nongkrong" ketika pulang bekerja, ketika bercanda merencanakan untuk punya momongan. Dirumah ini, kita adalah tuan sekaligus pembantu. Halaman

Huma Diatas Bukit

Seribu rambutmu yang hitam terurai Seribu cemara seolah mendera Seribu duka nestapa di wajah nan ayu Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku Di sana kutemukan bukit yang terbuka Seribu cemara halus mendesah Sebatang sungai membelah huma yang cerah Berdua kita bersama tinggal di dalamnya Nampaknya tiada lagi yang diresahkan Dan juga tak digelisahkan Kecuali dihayati Secara syahdu bersama Selamanya bersama selamanya ------------------------------------------------------------------ Tidak ada yang salah dari lirik lagu yang dibawakan dengan suara khas berat milik Achmad Albar itu. Semuanya selaras, berpadu dalam simphoni yang menawan. Bukan.. bukan irama atau melodi nya yang membuat aku terus menerus memutar lagu itu dalam keseharianku. Meresapi lirik nya lah... Jadi beban dalam kehidupanku. Kita telah sama-sama tahu, berhayal mewujudkan mimpi-mimpi yang kita taruh dalam kotak-kotak yang kosong.. Di sana kutemukan bukit yang terbuka Seribu cemara halus mendesah

Galunggung

Suatu hari, kebisuan bisa menjadi obat mujarab untuk menghibur hati... kenapa kita resah ketika surga menghapar di ujung mata

Selamat Bertemu Kembali

S elamat datang Old Friend... nampaknya .. kita akan sering bertemu sekarang... ketika yang lain sudah terlalu sibuk dirimu menjadi tempat saya berlari masih penuh semak dan belukar masih berudara segar mari berpelukan