“ Hari itu. Bulan November. Akhir November. Aku membangun tendaku sendirian dalam hempasan angin dan hujan petir...” dia mulai bercerita. Suaranya agak gemetar. Namun, perlahan-lahan menjadi stabil. Saya dengan seksama menyimak, tanpa ada keinginan untuk menyela. “ Sebenarnya, hari itu hari berlum terlalu sore. Gelap belum lagi datang. Aku tergesa-gesa menerobos gelap yang tiba-tiba datang, seiring dengan air yang deras tercurah dari langit. Setelah beberapa kali petir besar terdengar, dan kilat yang menyambar-nyambar. Beberapa pendaki lain, berhenti membuat bivak dalam celah-celah pohon yang aman. Aku menerobos. Ah, betapa sombongnya aku waktu itu,” katanya. Kemudian dia mengusap mukanya dengan kedua tangan. Seperti menyesali sesuatu yang sangat berat. “ Aku mendaki sendirian. Kebiasaan buruk!” runtuknya. “ Aku merasa sangat jago. Meski mendaki sendirian. Beberapa kali pernah celaka, namun, tetap saja. Panggilan untuk itu, tak pernah reda. Hingga secara insting, aku suda
Ketika makna hidup dipertanyakan, jawaban apa yang akan kita beri? Kemana jawaban akan dicari?