Skip to main content

Lelaki : Menjadi Bijaksana


aku tidak akan lagi pernah menyangkal bahwa usia ku sudah tidak muda lagi. waktu telah membawa begitu banyak pengalaman yang tidak mungkin bisa targanti oleh apapun. pahit dan manis kehidupan, seperti butiran tasbih yang beruntun sambung menyambung tidak kenal putus. meskipun hanya berjumlah sembilan puluh sembilan, namun dia kembali lagi ke satu, kemudian dua, tiga dan seterusnya. tanpe pernah putus.

perjalanan hidup, seperti sebuah perjalanan mendaki gunung. diawal, semua beban terasa berat betul. tidak ada satu pun beban yang terasa ringan. bahkan, sebuah sendok atau sejumput sayuran yang kita bawa, sudah merupakan beban yang membuat tulang belakang terasa semakin mengkerut. membuat dengkul terasa semakin susah bergerak. dan di pertengahan, semuanya akan berasa menjadi sesutu yang biasa. berat beban adalah sebuah keniscayaan yang memang seakan menjadi hal yang biasa. kita biasa membawa beban itu, dan tubuh menjadi terbiasa memikul beratnya.

apalagi yang menjadi tidak biasa ketika satu hari penuh berjalan dalam deraan keadaan yang memaksa kita menjadi biasa? dari mana datangnya, dorongan yang mentolerir keadaan itu? dari dalam diri kita? ego? atau memang adaaptasi tubuh yang sudah dicipta tuhan sehebat itu, sehingga segala sesuatu menjadi hal yang biasa saja terjadi didunia ini?

menjadi bijaksana, adalah pilihan menjalani hidup. tidak ada satu manusia pun terlahir dengan dominasi otak menjadi bijaksana. semuanya berjalan secara alami. semakin banyak melihat, kita akan semakin tahu. semakin banyak mendengar, kita akan semakin yakin. semakin banyak mengalami, kita akan semakin bijaksana. dan semuanya kembali pada satu dasar yang memang sudah digariskan Tuhan kepada kita. fitrah manusia sebenernya. untuk menjadi manusia yang sebenarnya.

bukankah memang, kita diwarisi sifat sifat yang lebih luhur dari semua mahluk di dunia ini. hanya manusia yang mengerti apa itu menjadi manusia dan memanusiakan manusia. dalam bahasanya, mungkin hewan juga akan memperlakukan sesamanya seperti kita memperlakukan sesama kita. namun, itu tidak menjadi acuan, karena kita tidak mau disamakan dengan mereka. dari segi manapun, manusia tetap mahluk superior.

lalu bagaimanakah kita bisa menjadi bijaksana? apakah ada sekolah atau kursus yang bisa menjadikan kita bijaksana? (bm/11)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny