Mulanya semua seperti sebuah rentetan puisi dalam sebuah buku cinta. Entah itu Rumi atau Ghibran. Apa masih ada beda diantara kedua mahluk pecinta itu? Masing-masing tak pernah ada yang pernah paling sempurna.
Namun dari keduanya, berbelok kepada Chairil. Pria yang tidak pernah gemuk, perokok, dan playboy kelas kereta api. Namun, semua ucapannya jujur mengalir. Tak pernah ada ketamakan makna yang coba ia utarakan. Semuanya mengalir seperti embun pagi tertimpa temaram mentari.
Atau mengalir jujur nada-nada elok dari Taufik. Lelaki kalem yang tak pernah terlihat senakal Chairil. Namun menyimpan karisma hebat yang tidak pernah pudar oleh jaman. Ia adalah simbol keteguhan makna yang mencuat pelan-pelan dalam bait-bait tak ber rima. Irama, lebih seperti jejeran batang-batang rumput yang bergoyang diterpa sepoi angin. Irama, adalah madu yang menetes dari tempat mematikan...
Kenapa setiap pecinta memuja dunia? Dan setiap puisi adalah pujian dari kegaduhan hati mengenang pasangan masing-masing? Apa sebatas itu, garis hidup manusia didunia. Untuk mencinta dan menuangkan segala gulana dalam baris baris pendek, yang tak jarang tak pernah bermakna apa-apa?
Puisi itu jiwa..
puisi itu gelora
(bmkr /1211)
Comments
Post a Comment