Saya terenyuh. Merenungi lagi baris-baris kata yang kau tuliskan tentang perasaan mu kepada ku, jauh dulu. Ada kekeliaran imajinasi yang berpadu menjadi harapan yang mendebur-debur seperti ombak kepantai. Teratur, tak pernah ada yang mau loncat lebih dahulu. Rapi susul menyusul seolah itulah takdir yang memang harus dijalani.
Ada rumah kecil diujung kota. "Mlipir" dari kebisingan ibukota yang tidak pernah tidur. Menyajikan udara bersih lebih banyak untuk dihirup rongga dada. Ada anak-anak kecil berlarian riang, dalam seragam sekolah meraka yang rapi. Berteriak memanggil yang lain, dengan botol air minum yang terombang ambing dipinggang. Tak ada yang mengantar, mereka belajar untuk mandiri. Itu, dijalan depan rumah kita.
Secangkir kopi pahit tanpa gula, tersaji dimeja kecil kita, yang kita pakai sebagai meja makan, tempat "nongkrong" ketika pulang bekerja, ketika bercanda merencanakan untuk punya momongan. Dirumah ini, kita adalah tuan sekaligus pembantu. Halaman kecil berisi bunga-bunga yang kau beli dari pasar kembang, mulai tumbuh dan menampakkan aneka warna yang cantik. Disana, dibangku depan yang cuma sebuah, kau berlama-lama membaca buku kesayanganmu, dikala santai, sesekali tersenyum menyaksisakan bunga-bunga yang genit bergoyang.
Saya, akan berlari pulang lebih dulu. Berharap kau akan disampai dirumah belakangan, hingga akan ada secangkir teh manis dalam meja kecil kita, buatmu. Meski seringkali, kau yang tiba lebih dulu dirumah. Hingga, teh itu justru dibuat oleh tanganmu, buat saya.
Dan ketika musim liburan tiba, kita akan pergi berdua. Menelusuri jalan-jalan setapak kenangan kita. Berdua di lembah penuh bunga abadi, dalam guyuran hujan yang dingin. Kita bercengkrama dalam berisiknya aliran sungai yang deras. Namun, ketika kita tak bisa pergi berdua, kau akan mempacking kan semua peralatan saya, hingga akan saya bawa semua berat itu, menjadi ringan oleh cinta dan halus lembut tangan mu.
Namun, saya tidak tahu sekarang. Apa mimpi mimpi itu masih selaksa ombak sekarang. Tetap menuju pantai dan bersambut dengan pasir. Saya adalah pasir, yang menunggu ombak mimpi itu menepi dan mendekapnya dalam-dalam. (bmkr/0112)
Comments
Post a Comment