Skip to main content

Lelaki : Bolehkah Terus Bermimpi?


Saya terenyuh. Merenungi lagi baris-baris kata yang kau tuliskan tentang perasaan mu kepada ku, jauh dulu. Ada kekeliaran imajinasi yang berpadu menjadi harapan yang mendebur-debur seperti ombak kepantai. Teratur, tak pernah ada yang mau loncat lebih dahulu. Rapi susul menyusul seolah itulah takdir yang memang harus dijalani.

Ada rumah kecil diujung kota. "Mlipir" dari kebisingan ibukota yang tidak pernah tidur. Menyajikan udara bersih lebih banyak untuk dihirup rongga dada. Ada anak-anak kecil berlarian riang, dalam seragam sekolah meraka yang rapi. Berteriak memanggil yang lain, dengan botol air minum yang terombang ambing dipinggang. Tak ada yang mengantar, mereka belajar untuk mandiri. Itu, dijalan depan rumah kita. 

Secangkir kopi pahit tanpa gula, tersaji dimeja kecil kita, yang kita pakai sebagai meja makan, tempat "nongkrong" ketika pulang bekerja, ketika bercanda merencanakan untuk punya momongan. Dirumah ini, kita adalah tuan sekaligus pembantu. Halaman kecil berisi bunga-bunga yang kau beli dari pasar kembang, mulai tumbuh dan menampakkan aneka warna yang cantik. Disana, dibangku depan yang cuma sebuah, kau berlama-lama membaca buku kesayanganmu, dikala santai, sesekali tersenyum menyaksisakan bunga-bunga yang genit bergoyang.

Saya, akan berlari pulang lebih dulu. Berharap kau akan disampai dirumah belakangan, hingga akan ada secangkir teh manis dalam meja kecil kita, buatmu. Meski seringkali, kau yang tiba lebih dulu dirumah. Hingga, teh itu justru dibuat oleh tanganmu, buat saya.

Dan ketika musim liburan tiba, kita akan pergi berdua. Menelusuri jalan-jalan setapak kenangan kita. Berdua di lembah penuh bunga abadi, dalam guyuran hujan yang dingin. Kita bercengkrama dalam berisiknya aliran sungai yang deras. Namun, ketika kita tak bisa pergi berdua, kau akan mempacking kan semua peralatan saya, hingga akan saya bawa semua berat itu, menjadi ringan oleh cinta dan halus lembut tangan mu. 
 
Namun, saya tidak tahu sekarang. Apa mimpi mimpi itu masih selaksa ombak sekarang. Tetap menuju pantai dan bersambut dengan pasir. Saya adalah pasir, yang menunggu ombak mimpi itu menepi dan mendekapnya dalam-dalam. (bmkr/0112)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny