Skip to main content

Pada Sebuah Batu Belah

Gugup, saya membaca surat itu berulang-ulang. Bayangan mengalir mondar-mandir pada peristiwa beberapa tahun lalu. Seakan masih berasa perih, bekas gores perdu-perdu ditangan. Seperti masih berasa sakit, lecet di jari kaki dan tumit karena sepatu yang basah dan kaus kaki lembab, masih terus di pakai.  

To: Seorang Kawan kawanmu@email.com

Date: Mon, 09 Jan 2012 23:40:30 -0800

Subject: Re : Serpihan Kertas di Bebatuan

 

Hallow Jagoan!

Apa kabar kau? Meski saya tidak ingat betul peristiwa yang kau ceritakan pertama, tentang melarung tulisan-tulisan kita di sungai berbatu itu, tapi, saya sungguh tidak akan pernah lupa kepada peristiwa kebun karet dan jalan kereta tua.

Malu betul rasanya, ketika itu. 

Saya menangis, dan kau ejek saja seperti mengejek seorang anak SD yang kalah berantem dari temannya memperebutkan mainan. Rasanya, perih kaki karena lecet masih terasa waktu saya baca email-mu.

Dimana kau sekarang? 

Mengapa tidak perah ada kabar dari mu? Saya pikir kau sudah mati di belahan bumi yang tidak bisa diketemukan manusia.

Salam

Pengembara

Begitulah. 

Setelah surat balasan saya. Kami berkomunikasi lagi. Bagaimana dia hidup sebagai petani di sebuah desa di belahan bumi Jawa Timur. Membangun rumah tangga sederhana dengan seorang anak laki-laki bernama Mata Kembara. Dia meninggalkan dunia kota yang penuh dengan keserakahan dan hiruk pikuk. Memilih bergulat dengan cangkul dan pupuk, menjadi petani. 

Kami, bersahabat dari sejak sekolah menengah atas. Beda sekolah memang. Namun, hobby mempertemukan kami dalam sebuah kegiatan. Kami, sama-sama ikut dalam sebuah lomba kecakapan pelajaran. Dia bercerita tentang hobby-nya, disela waktu rehat siang. Waktu itu, sahabat saya itu, sudah menjadi penggiat alam, dia sudah "manjat". Saya, masih senang-senangnya, ngelayab dari curug ke curug, pantai ke pantai, dan kemping dari satu tempat ke tempat lain. Dia mengenalkan saya kepada panjat-memanjat. Mengajari saya tentang tali temali. Mengundang saya, dalam latihan rutinnya setiap sabtu pagi di halaman sekolahnya. 

Menjadi sahabat karib, kami sering bepergian bersama. Hingga pada peristiwa kebun karet kolonial itu. Melakukan aktifitas bersama. Kadang, pergi di jam pelajaran, hanya untuk nonton kompetisi panjat atau sekedar ingin melihat matahari tenggelam di sebuah tempat kami biasa "nongkrong". 

Di sebuah batu belah di bukit itu. Di Karawang.

Hingga, pada beberapa tahun setelah kelulusan, saya kehilangan kontak nya. Kabar dari dia hilang. Pada kunjungannya terakhir ke rumah ku, ia menitipkan salam karena mendapat pekerjaan di luar kota di Jawa Timur. Sejak itu, kami terpisah. Surat itu membangkitkan kenangan ku akan sosoknya yang tegar dan tidak pernah menyerah pada apapun. Bahkan, ketika suatu kali, dia hampir babak belur adu jotos dengan seorang sopir angkot di Sukabumi. 

Kawan, selamat datang. 

Berceritalah, kepada saya. Lama betul kita tak bercengkrama. (bmkr/0212)





pic google https://www.tennessean.com/story/life/shopping/ms-cheap/2019/09/29/hiking-trails-in-nashville-october-2019/2298122001/https://www.tennessean.com/story/life/shopping/ms-cheap/2019/09/29/hiking-trails-in-nashville-october-2019/2298122001/

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny