Hal yang paling menyakitkan, memang harapan. Apalagi yang mampu membuat sesorang bunuh diri? Kehilangan harapan mendapatkan penghidupan yang lebih layak, karena dipecat dari pekerjaan. Kehilangan asa untuk membentuk hidup dimasa depan dengan sesorang yang dicintai, karena diputuskan sang kekasih. Atau bisa jadi kehilangan harapan untuk terus melanjutkan peran sebagai manusia dengan melemparkan diri dari lantai 36 gedung bertingkat. Rasanya itu, hanya sebagian kecil, bagaimana harapan itu mampu menjadi stir dalam gerak hidup seseorang.
Membunuh harapan itu, memang sulit. Bisa saja. Tapi sulit. Sekarang bayangkan saja. Suatu hari, kita berharap untuk menjadi orang kaya, dengan penghasilan yang cukup, pada sebuah perusahaan keren, atau malah diperusahaan sendiri. Dikemudian hari. terjadi pemecatan besar-besaran karena iklim dagang dunia yang tidak menentu. Hasilnya, badan jadi bagian yang diputuskan. Dipecat. Harapan untuk menjadi kaya, luntur dan menguap. Tersapu awan kelam. Jika masih sanggup bertahan, itu bagus. Yang tidak bisa bertahan, tiduran di rel kereta api, karena frustasi.
Di film yang pernah saya lihat, seorang wanita super, kehilangan pekerjaannya, yang mapan, setelah sebelumnya, harus ditinggal mati suaminya karena kecelakaan, dan setelahnya, ditinggal mati anaknya karena serangan SARS. Dia melemah, kemudian mencoba bunuh diri. Menganggap dirinya tidak berarti apapun untuk siapapun,d imanapun. Dikisahkan juga, seorang lelaki, bawahannya, yang kena pecat juga, menabrakkan diri ke truk yang melaju kencang. Mati.
Jangan hanya melihat bahwa itu film. Pada situsai itu, apa kita tidak terbayang, bagaimana nasib kita juga. Film adalah gambaran realita yang dikemas dengan bumbu yang kadang lebih nyata dari dunia nyata sekalipun. Dia itu, murni. Tulus bertutur dengan peran yang memang sudah tertentu. Sementara didunia nyata, lebih banyak yang menclok sana-menclok sini. Menerabas batas-batas semaunya. Di film, semuanya teratur. karena pemain mengikuti apa kata sutradara dalam koridor naskah yang sudah disepakati.
Yang jadi pertanyaan, apa perlu membunuh harapan, sebelum harapan itu membunuh?
(bmkr/21/12)
Image : website by
Membunuh harapan itu, memang sulit. Bisa saja. Tapi sulit. Sekarang bayangkan saja. Suatu hari, kita berharap untuk menjadi orang kaya, dengan penghasilan yang cukup, pada sebuah perusahaan keren, atau malah diperusahaan sendiri. Dikemudian hari. terjadi pemecatan besar-besaran karena iklim dagang dunia yang tidak menentu. Hasilnya, badan jadi bagian yang diputuskan. Dipecat. Harapan untuk menjadi kaya, luntur dan menguap. Tersapu awan kelam. Jika masih sanggup bertahan, itu bagus. Yang tidak bisa bertahan, tiduran di rel kereta api, karena frustasi.
Di film yang pernah saya lihat, seorang wanita super, kehilangan pekerjaannya, yang mapan, setelah sebelumnya, harus ditinggal mati suaminya karena kecelakaan, dan setelahnya, ditinggal mati anaknya karena serangan SARS. Dia melemah, kemudian mencoba bunuh diri. Menganggap dirinya tidak berarti apapun untuk siapapun,d imanapun. Dikisahkan juga, seorang lelaki, bawahannya, yang kena pecat juga, menabrakkan diri ke truk yang melaju kencang. Mati.
Jangan hanya melihat bahwa itu film. Pada situsai itu, apa kita tidak terbayang, bagaimana nasib kita juga. Film adalah gambaran realita yang dikemas dengan bumbu yang kadang lebih nyata dari dunia nyata sekalipun. Dia itu, murni. Tulus bertutur dengan peran yang memang sudah tertentu. Sementara didunia nyata, lebih banyak yang menclok sana-menclok sini. Menerabas batas-batas semaunya. Di film, semuanya teratur. karena pemain mengikuti apa kata sutradara dalam koridor naskah yang sudah disepakati.
Yang jadi pertanyaan, apa perlu membunuh harapan, sebelum harapan itu membunuh?
(bmkr/21/12)
Image : website by
Comments
Post a Comment