Skip to main content

Lelaki : Perisai Bernama Diam

Sudah.
Diam sajalah. Begitu dia berkali-kali mengingatkan. Untuk tidak memperkeruh suasana yang memang sudah sangat tidak kondusif. Bayangkan saja. Api menyala-nyala membakar. Sementara halilintar dan hujan turun bersamaan. Entah si api memperoleh kekuatan dari mana, hingga mampu terus membakar pada saat air turun  dengan hebatnya.

Memadamkan api ditengah hujan petir seperti ini, rasanya seperti sia-sia. Bahkan menuangkan isi lautan pun, rasanya belum cukup kuat untuk membutnya berhenti berkobar. Api seperti dirasuki kekuatan gaib, menyambar-nyambar tanpa ampun. Melahap apasaja yang ada didekatnya, bahkan yang jauh sekalipun. Jika sudah begini, rasanya usaha apapun, menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Yang terbaik memang diam. Melihat dan menyaksikan dia padam dengan sendirinya karena kehabisan tenaga. Melemah dan kemudian mati.

Ada pertanyaan terlontar dengan dahsyat, ketika sebuah peristiwa terjadi. Bertubi-tubi. Menusuk-nusuk. Lalat yang berterbangan pun, mati karena kilatan pertanyaan itu. Nyamuk tak mau keluar. Kupu-kupu mengepak menjauh. Pohon dan bunga-bunga menunduk layu. Ah, pertanyaan apa pula itu yang terlontar. Apakah sama dengan kekuatan Api yang membakar diatas tadi? Meski beda bentuknya, namuan dia mempunyai konotasi yang serupa nampaknya. Sama-sama memusnakhan. Sama-sama membakar. Satu dan yang lain tak serupa tapi sama.

Si pertanyaan itu tercecar dengan alibi dan jawaban yang sudah berbumbu. Ada pedas, manis, asin. Bahkan pahit yang menghentak-hentak, dengan warna nya yang hijau kehitaman, berusaha mencari jalan paling depan diantara deretan rasa bumbu. Dia seperti menjalar, tanpa bisa dihentikan. Ah, ini lagi si getir menyeruak ditengahnya. Meregangkan tubuhnya dari tidur panjang di dekapan pahit. Menyeringai, menunjukkan taring nya yang sama sekali tidak indah. Menakutkan.

Pada masa itu, sepertinya diam lebih baik. Bukankah si bumbu itu, tidak bisa mendeteksi gerakan? Dia hanya merespon tiap-tiap gerak yang ada. Kecil besar, cepat lambat, kepekaannya tidak akan bisa disangkal. Diam saja. Jangan lakukakan apapun. Tonton saja, bagaimana pahit dan getir saling hantam untuk menjadi yang paling "berani". Saksikan saja bagaimana Api yang rakus membakar semuanya kemudian habis tenaga dan melemah, kemudian mati. Serta si Pertanyaan yang kemudian menjadi karat karena membentur sesuatu yang buntu.

Diam saja.
Ada banyak hal yang tidak harus dijelaskan dengan penjelasan. Ada banyak hal yang diselesaikan dengan tidak menyelesaikannya.
(bmkr/2112)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny