Bahagia rasanya, apabila kita menjadi orang yang tidak tahu. Entahlah. Tapi, begitulah yang belakangan saya rasakan. Menjadi orang yang "tidak mengerti" akan sebuah hal yang saya mengerti, dan menjadi orang lain pada sebuah topik yang sangat familiar. Bayangkan saja, tukang kopi yang diajari cara menyeduh kopi. Atau, sopir angkot yang diajari cara menyetir mobil. Ini menyenangkan. Jangan pernah merasa terhina karenanya. Sebab, ilmu yang didapat dari seorang yang tidak pernah tahu siapa anda sebenarnya, adalah pengingat bahwa ada orang lain yang sama atau bahkan lebih unggul dari anda sendiri.
Pada suatu malam, saya berkumpul dengan beberapa pecinta alam dari berbagai daerah di Indonesia. Masing-masing kami, sudah saling kenal satu sama lain meski hanya sebatas pertemanan dalam dunia maya di jejaring sosial. Seorang dua, sudah pernah saling mengunjungi. Beberapa muka, saya ingat di jajaring saya. Hanya, ini kesempatan perama untuk bisa menjabat tangan mereka langsung dan bercakap mendengar suara mereka. Melihat keriput di tulang-tulang pipi. Rambut mereka yang ternyata gimbal. Dan tatoo dilengan yang kalau diphoto mereka tidak tampak. Semua seperti baru.
Mulailah, perkenalan itu berjalan. Semua bercerita tentang pengalaman mereka. Menegangkan, ketika seorang pendaki bertemu dengan hantu di gunung Ciremai. Ketika sepasang kekasih terlempar dari atas perahu karet dalam penjelajahan jeram ganas di Sumatra Utara. Atau ketika ada yang mengaku pernah berhadapan langsunga dengan Macan Kumbang di hutan Sumatra. Berbagai cerita itu membuai saya. Wah, fantasitis betul pengalaman mereka. Sementara saya, hanya pendaki gunung tanggal merah. Yang mendaki ketika kalender dimeja saja, ada merah di hari sabtu dan minggu. Atau, sukur-sukur di hari Kamis, agar Jumat yang Hari Kejepit Nasional bisa diajak bolos sekalian.
Semua pengalaman itu, membawa kepada perbincangan hangat sesudahnya. Dan ketika saya yang ditanya, saya gagap, dan tidak tahu harus berkata apa. Pengalaman mendaki saya, lurus-lurus saja. Tak pernah ada ekstrim seperti yang mereka ceritakan. Malu benar rasanya. Sempat terbesit, betapa tidak beruntung nya saya, yang mendaki tanpa mendapatkan cerita "super" seperti mereka itu. Saya masih berfikir bahwa saya, pendaki biasa saja. Menikmati alam, karena, saya mau dan karena tanggalan di kalender meja saja, merah.
Saya menjadi orang yang paling tidak tahu, dan tidak keren, saat itu, rasanya. Berkelit, ketika diminta bercerita, meskipun kemudian saya bercerita juga, " nanti kalian tidur kalo denger cerita saya. Nggak ada yang menarik. Saya cuma pendaki biasa. Belum banyak pengalaman." Begitulah cara saya menghindar ketika itu. Banyak yang kecewa. Tapi, saya pasti tak mampu membahagiakan semua orang..(bmkr/0213)
Comments
Post a Comment