Skip to main content

Lelaki : Bersembunyilah

http://groomsadvice.com/wp-content/uploads/2011/02/bigstock_Cowboy_Silhouette_3089374.jpg


Perasaan ini, seketika takut luar biasa. Bayangan peristiwa masa lalu bolak-balik mengisi ruang pikir. Semuanya berjalan seperti deretan film yang tak bisa dihentikan. Meski mata ditutup, terpejam, bayangan itu semakin jelas terlihat. Dan ketika lampu kamar dinyalakan, dia menempel seperti lukisan dan gambar-gambar hidup didinding putih. Kadang beralur cepat, namun pada bagian-bagian tertentu, lambat sangat terasa. Seperti slow motion sehingga semua kejadian jelas terlihat hingga ke detail paling dalam.

Keringat mengucur. Namun tak ada tempat untuk melarikan diri. Berjalan kemanapun, dia mengikuti. Saya takut luar biasa.

Saya percaya, persahabatan itu, terjadi hanya pada saat kita melajang. Pada masa itu, ada banyak hal yang rasanya indah sekali untuk dikenang. Tak ada hal yang nampak tabu. Sah-sah saja berbuat ini dan itu. Melanggar peraturan, makan ditempat-tempat sembarangan, atau mengembara melampiaskan masa lajang yang penuh dengan ambisi dan cita-cita. Persahabatan itu, seperti sebuah ikatan tanpa tali. Saling menyatukan. Merasa sakit ketika yang lain sakit, merasa berdosa ketika yang lain melanggar aturan. Mentertawakan kebodohan seperti seorang anak yang tidak pernah berasa susah.

Namun, ketika masa lajang itu lewat, tak pernah ada benar-benar persahabatan. Perkawanan menjadi absurd. Saling meninggalkan, saling merasa punya jurang yang dalam untuk sama-sama dituruni bersama. Mungkin, si lajang masih ingin mengembara, tapi yang sudah tidak lajang lagi, mengembara dalam versi nya sendiri. Dengan kehidupannya sendiri.

Perkawanan itu, seperti dirampas paksa. Si lajang ingin selamanya mengulang kehidupan pengembaraan tanpa batas yang sedari dulu dikisahkan pada diari dan buku-buku puisi. Mengarungi malam-malam pada bangku terminal yang dahulu dijadikan tempat nyaman untuk tidur, bersama. Mendatangi lembah-lembah dalam penuh bunga berwarna ungu, kemudian mendirikan tenda dan mendengarkan raungan kematian babi hutan dimangsa predatornya.

Rasanya, bagai kulit yang terkelupas. Perih. Mengingat semua itu. Namun, semua kehidupan pasti menuju kepada ujung yang lebih baik. Jika tidak didunia ini, pasti diakhir nanti (bmkr 03/13)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny