- Hmm, kapan yah? Sebulan atau setahun lalu. Ada apa rupanya, tiba-tiba kau bertanya tentang buku? aku balik bertanya.
+ Tidak mengapa. Hanya ingin tahu saja. Bukankah dulu, kamu yang "meracuni" saya melahap semua buku yang kamu sodorkan. Bahkan ketika kamu paksa saya membaca Dunia Sofie yang menurut saya, hhmmm.. sangat bukan saya. Kamu ngotot. Katamu, dari situ, kamu akan mengerti apa arti hidup dan kehidupan itu sendiri. Dan saya baca. Meski bingung, pada awalnya, saya tetap teruskan hingga habis. Dan memang kemudian saya bisa merasai, nikmatnya melahap buku tebal itu.
Saya termenung. Mengingat peristiwa itu. Jauh sebelum kami menjadi akrab sekarang. Buku adalah teman buat saya. Sahabat yang tidak pernah bawel ketika saya memakai sendal jepit ke mall. Dia tidak ngamuk ketika saya langsung membacanya ketika bangun tidur. Atau ketika dia tertimpa badan saya, waktu tidur malam sementara badan masih keringatan karena baru pulang kerja.
Di warung kopi pinggir jalan itu, saya memaksa Dia untuk membaca sebuah buku sajak. Waktu itu, dia lagi gandrung dengan film dengan sajak-sajak indah yang melena. Beberapa buku saya sodorkan. Chairil Anwar dan Rumi. Dia terbelalak. Aneh katanya memahami puisi dalam kedua buku itu. Nadanya, tidak semanis dalam film yang Dia lihat. Namun kata saya, itu adalah sajak yang dijadikan referensi banyak orang menulis. Sedikit banyak, buku-buku itu menjadi pengaruh buat siapa yang membacanya, dan menuliskan kembali dengan bahasa mereka masing-masing.
- Aku tak punya buku untuk dibaca, kataku memecah sepi, di warung kopi yang sama ketika kami bertemu waktu itu.
+ Ah, mana bisa begitu. Buku dari dulu banyak di jual. Penulis-penulis bermunculan seperti cendawan kena hujan. Yang bagus. Yang ngaku-ngaku bagus. Yang best seller. Yang mengharap best seller. Semuanya komplit. Dia nyerocos sembari menyeruput kopi dalam gelasnya yang hampir habis.
- Nggak ada waktu buat baca buku. Aku sibuk kerja. Sibuk berkomunitas. Sibuk cari uang.
+ Omong kosong! Mana ada di dunia ini orang yang tidak punya waktu untuk membaca. Kita diberi waktu sama-sama 24 jam. Dan dalam masa itu, mestilah ada waktu untuk membuka satu dua halaman.
- Apa katamu sajalah. Pokoknya hari ini belum sempat. Aku menyela. Mengangkat gelas bening dengan cairan hitam didalamnya. Menenggak habis isinya, hingga ampas saja yang tersisa, kamudian berteriak kepada pemilik kedai untuk mengisi ulang gelasku.
Kami menikmati pikiran masing-masing.
+ Eh, kamu mau dengar sajak yang saya tulis. katanya riang.
- Kamu? Bikin Sajak? aku tidak percaya.
+ Sudah! Tak perlu mengolok-olok. Mau dengar tidak?
Aku terkekeh. Kemudian mengangguk. Binar matanya memancar.
+ Dengar yah!
- Iyah!
Waktu akan memenjara
setiap pecinta yang tak bisa bicara
tentang jujur yang dibawa-bawa
tapi tak bisa dikeluarkan
hanya dibawa saja...
Perasaan, jangan pula dikubur terlampau dalam
bisa mati beku dia
dia juga butuh nafas, keluarkanlah
jangan biarkan waktu menjadi penjara
untuk perasaan
+ Sudah!
- Segitu saja?
+ Iyah!
Ah, dia sudah pandai bermain kata-kata. (bmkr/0413)
Comments
Post a Comment