Skip to main content

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu.

Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, menyuguhkan teh dan makanan kapada si pengelana.

Hari yang semakin malam, memaksa sang pengelana untuk tetap tinggal disana. Sang Janda memperbolehkan ia untuk menempati satu kamar kosong yang ada di warung, yang juga rumah untuknya dan anak perempuannya. Pada saat berpisah, sang pengembara, meninggalkan sebuah kuas lukisnya, dan menggantungkannya pada dinding rumah Sang Janda. Katanya, dia akan kembali untuk mengambilnya, pada kunjungan berikutnya. Sebagai gantinya, sang Janda memberikan setangkai bunga lily, yang katanya, harus di bawa kembali, pada saat dia mengambil kuasnya.

Sang Janda, dipenuhi harapan. Hari-hari dia habiskan dengan semangat bekerja di kedainya, dan matanya tak pernah lepas memandang jalanan, ketika melepas si Pengelana pergi, hari itu. Dan ketika malam, ia akan senang hati, menghitung purnama untuk memastikan sang pengelana datang tepat waktu.

Dan, pada hitungan purnama ke duabelas, pengelana itu datang dengan setangkai bunga lily ditangannya. Namun, pada saat ia pergi, bukannya ia mengambil kuas yang tergantung di dinding rumah itu, dia menambahkannya, dengan ucapan yang sama.

Kini, sudah ada empat kuas tergantung disana. Waktu berjalan begitu cepat. Semuanya harus kembali pada keputusan. Dan sang pengembara, menggantungkan semua kuas lukisnya pada dinding rumah itu dan berkata, tidak akan pergi kemana-mana. Ia ingin menghabiskan sisa perjalanannya, pengembaraanya, menjadi penghuni rumah si Janda, dalam warung teh yang hangat. Melayani setiap pengunjung yang datang.

Pada akhirnya, semua akan kembali pada keputusan yang diambil dengan pertmbangan yang matang. Tahun-tahun pengembaraan, segara akan berakhir. Ada rumah dengan bunga liliy dan hangatnya teh, menunggu untuk segara ditinggali. Ada harapan pada malam-malam ketika purnama bersinar terang, dan kita masih terus menatapnya hingga subuh tiba.

Maukah kau, menanam lily dan menyeduhkan teh untuk ku, setiap hari? Akan ku gantung pengembaraan sendiriku, dan menghabiskan waktunya bersamamu. Dalam pengembaraan yang lain. Petualangan kita. (BMKR/0513)







Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se