Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada
sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan
untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu
ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran
dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera
tanpa nama itu.
Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit,
mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang
pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta
kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta
yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu
sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada
hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung
seorang janda beranak satu, yang mulai
remaja. Sang Janda, menyuguhkan teh dan makanan kapada si pengelana.
Hari yang semakin malam, memaksa sang pengelana untuk tetap tinggal
disana. Sang Janda memperbolehkan ia untuk menempati satu kamar kosong yang ada
di warung, yang juga rumah untuknya dan anak perempuannya. Pada saat berpisah,
sang pengembara, meninggalkan sebuah kuas lukisnya, dan menggantungkannya pada
dinding rumah Sang Janda. Katanya, dia akan kembali untuk mengambilnya, pada
kunjungan berikutnya. Sebagai gantinya, sang Janda memberikan setangkai bunga
lily, yang katanya, harus di bawa kembali, pada saat dia mengambil kuasnya.
Sang Janda, dipenuhi harapan. Hari-hari dia habiskan dengan semangat
bekerja di kedainya, dan matanya tak pernah lepas memandang jalanan, ketika
melepas si Pengelana pergi, hari itu. Dan ketika malam, ia akan senang hati,
menghitung purnama untuk memastikan sang pengelana datang tepat waktu.
Dan, pada hitungan purnama ke duabelas, pengelana itu datang dengan
setangkai bunga lily ditangannya. Namun, pada saat ia pergi, bukannya ia
mengambil kuas yang tergantung di dinding rumah itu, dia menambahkannya, dengan
ucapan yang sama.
Kini, sudah ada empat kuas tergantung disana. Waktu berjalan begitu
cepat. Semuanya harus kembali pada keputusan. Dan sang pengembara, menggantungkan
semua kuas lukisnya pada dinding rumah itu dan berkata, tidak akan pergi
kemana-mana. Ia ingin menghabiskan sisa perjalanannya, pengembaraanya, menjadi
penghuni rumah si Janda, dalam warung teh yang hangat. Melayani setiap
pengunjung yang datang.
Pada akhirnya, semua akan kembali pada keputusan yang diambil dengan
pertmbangan yang matang. Tahun-tahun pengembaraan, segara akan berakhir. Ada
rumah dengan bunga liliy dan hangatnya teh, menunggu untuk segara ditinggali.
Ada harapan pada malam-malam ketika purnama bersinar terang, dan kita masih
terus menatapnya hingga subuh tiba.
Maukah kau, menanam lily dan menyeduhkan teh untuk ku, setiap hari? Akan
ku gantung pengembaraan sendiriku, dan menghabiskan waktunya bersamamu. Dalam
pengembaraan yang lain. Petualangan kita. (BMKR/0513)
Comments
Post a Comment