http://www.hdwallpapers.in/walls/cute_kitten-wide.jpg |
Namaku Kucing. Aku, seekor kucing yang beranjak dewasa. Masih terlalu kecil memang untuk dibilang dewasa, tapi sudah bukan anak-anak lagi. Ya, sebut saja begitu. Lahir dari keluarga kucing sederhana yang harmonis. Kaluargaku, yang semuanya kucing, tidak membesarkan anak-anaknya dalam kultur kucing kebanyakan. Kami dibesarkan dalam adat dan sopan santun yang kental. Itulah, kenapa dikeluarga kami tidak ada yang jadi Garong atau Belang. Kalian tau kan apa itu Kucing Garong dan Kucing Belang? Ya itulah.. Kucing yang badannya berbentuk kucing tapi pada hakekatnya adalah garong dan belang. Ah, untuk bagian belang ini, saya sebagai kucing muda, tidak cukup kata untuk mengatakannya.
Bapakmu, hanya kucing biasa. Badannya tidak gemuk, seperti kucing-kucing pemalas itu. Dia bekerja setiap hari, untuk memastikan bahwa Ibuku, dan anak-anaknya dapat makanan yang cukup untuk bisa hidup dan terus tumbuh menjadi dewasa. Yang kelak menjadi penerus darah keluarga yang terhormat.
Sering kali, Bapak berkata tentang kesopanan kepada kami semua, ketika waktu makan malam tiba. " Seberapapun menggodanya, ikan asin atau daging yang ada didepan mata mu, jika itu bukan menjadi hakmu, itu akan membawa bencana. Tak apa tulang belulang tanpa daging, namun jika itu punya sendiri, kita akan tenang menikmatinya. Jangan malu, karena menjadi benar. Malulah, ketika kita membenarkan yang salah dan mengikutinya,"
Itulah yang menjadi kekuatan kami setiap saat. Menjadi jujur bahwa yang salah adalah salah, yang benar adalah benar, dan mengatakan itu dengan lantang. Menjalani hari-hari dalam ketenangan itu lebih nikmat, tidak ada waswas, hingga kita bisa menjadi lebih waras, begitu kata Bapak pada suatu hari yang lain.
Menjadi kucing yang biasa-biasa saja, ternyata bukan perkara mudah. Apalagi di era sekarang ini. Teknologi dan ideologi membentur satu sama lain. Hingga segala yang absurd itu menjadi jelas, dan yang jelas itu menjadi abu-abu. Pada saat itu, keraguan membayangi kami, kucing-kucing muda yang sedang mencari pembenaran jati diri. Seringkali, aku dianggap aneh karena tidak menjadi orang kebanyakan. Aku menjadi tidak gaul, kata istilah manusia. Namun, aku tidak terpengaruh. Buatku, menjadi baik itu, sesuai dengan amanat Bapak.
Suatu hari, aku mendapati sepotong ikan asin. Ketika itu, aku sudah mulai lapar. Perut yang keroncongan, membuat hasrat yang sangat besar. Darahku berdesir hebat. Mata nanar menyaksikan seonggok kelezatan yang ada didepan mata. Indra penciuman meniup-niup otak yang kemudian menyuruh otot-otot meregang. Lapar.Aku kembali ingat omongan Bapak. Untuk tidak mengambil apa yang bukan menjadi hakku.Sehari dua hari, aku bisa melewati itu dengan sabar.
Hari-hari yang berat. Dan godaan ikan asin menjadi semakin berat. (bersambung/150913)
Comments
Post a Comment