Skip to main content

Perjalanan 5: Kemah yang Merapuh

Dalam kesendirian, manusia, konon berfikir lebih jernih. Membiarkan kapasitas dan energi yang mengaliri syaraf otak bekerja lebih maksimal. Tanpa interupsi. Semua berjalan autopilot, tanpa ada komando yang melarang atau mengelabui.

Sebuah tenda lusuh, hampir roboh tersembunyi dibalik semak-semak yang rimbun. Dari jalan setapak yang biasa dilalui orang, mustahil melihat tenda tenda hijau tua dengan motif loreng ini. Aku mendekat. Tenda itu seperti kosong. Bukan baru. Tapi sudah beberapa lama.

---

Aku terbangun ditendaku, ketika kicau burung riuh bernyanyi. Udara masih terasa amat dingin membuat dinding-dinding tendaku berembun. Sebagian airnya menetes-netes sisa hujan yang jatuh dari dedaunan. Api unggun yang semalam menyala menghangatkan, sudah betul-betul padam. Menyisakan abu kehitaman yang halus, yang sesekali beterbangan disapu angin pagi. Lelaki itu pasti kembali ketendanya ketika aku tertidur.

Diantara dedaunan kering didepannya, aku melihat sebilah belati penuh karat tergeletak. Pasti milik Lelaki itu, pikirku. Nanti saja, setelah berkemas aku akan kebawah mencarinya. Aku ingat ucapannya, bahwa tendanya tidak jauh sebelum jembatan dekat semak.

Dalam kesunyian pagi, aku bergegas membereskan semua peralatanku. Melipat sleeping bag dan tenda mungilku, kemudian mengaturnya dalam carrier. Aku menuangkan sebotol air terakhir dari dalam tas ke panci masak. Secangkir kopi akan sangat membantuku berseangat dipagi ini. Pikiranku mengembara. Setelah mendengarkan cerita dari Lelaki itu tentang apa yang ada diseberang. Sebuah danau yang indah tempat para bidadari. Aku tau, itu hanya kiasan. Namun, tetap saja aku ingin pergi kesana.

Melakukan perjalanan seorang diri, sudah pernah ku lakukan sebelumnya. Di sebuah gunung, aku harus menghadapi badai kabut yang ganas.  Di gunung yang lain, aku berlari diantera hutan pinus yang hangus terbakar. Menghindari gerombolan monyet-monyet lapar yang menyerang dengan ganas atau tersesat diantara jalur kereta di pertambangan emas tua. Semua memberikan pengalaman sendiri buatku.

Aku melirik jam tangan dipergelanganku. Pukul tujuh kurang sembilan menit. Aku bergegas, Meninggalkan barang-barangku dalam posisi tersembunyi. Menenteng belati penuh karat itu menyusur jalan setapak kebawah. Jalanan licin karena embun pagi yang belum lagi kering. Aku berlari kecil, hingga melihat ujung jembatan bambu tempat pertama kali kami berjumpa. Kupercepat langkah menuju ke seberang. Dugaan ku benar, sungai itu berada jauh di bawah jembatan. Lebih dari dua puluh meter, perkiraanku. Aku bergidik membayangkan, kalau saja malam itu aku tetap berlari dan jembatan ini ambruk. Jika tidak karena Lelaki itu, aku mungkin sudah akan berlari dan membuat kekacauan. Ah, pada saat ini aku baru mengerti.

Aku memeriksa sekeliling tenda itu. Tak ada tanda-tanda keberadaan seorang pun disini. Jika dari kondisinya yang sudah koyak disana-sini, tenda ini sudah pasti ditinggalkan dalam waktu cukup lama. Aku memeriksa kedalam, sepasang sepatu tergeletak di atas matras. Tidak ada carrier atau sleeping bag.

Dimana tenda mu sebenarnya, aku berpikir. Waktu di jam tanganku menunjukkan pukul sembilan lebih dua belas menit. Aku melangkah keluar dari semak menuju jalan setapak. Bergegas cepat melintasi jembatan menuju tempat kusembunyikan barang-barangku. Belati itu, masih tersimpan disakuku.

Lalu, dimana kiranya Lelaki itu berada? Apakah dia sudah mendahului aku menuju danau yang indah itu?

Perjalanan ini, masih akan terus berlanjut.

image  https://www.needpix.com/photo/322525/old-tent-forest-camp-forget-lapsed-pollution-broken-leave



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny