Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian.
Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang.
"Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya.
"Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda.
"Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor semua ini celana," jawabku.
Kami tertawa. Dia menyodorkan gelas enamel yang dipegangnya. Masih sisa setengah. Aku meminumnya pelan dan merasakan kopi hangat dalam rongga mulut terus ke kerongkongan. Menyegarkan semangat.
Berapa lama aku tidak bicara sedekat ini dengan seseorang? Pertemanan yang coba aku bangun dimanapun, tidak pernah berhasil dengan sempurna. Aku terlalu takut untuk mendekat kepada seseorang. Semua orang yang ku kenal, pergi satu-satu.
**
Kami duduk terdiam membelakangi tenda kecil ku. Seperti biasa, Dia bilang hanya perlu bivak dari flysheet yang kalau perlu akan dibuatnya nanti. Menyaksikan sore merambat ke malam. Beberapa burung terbang riang di atas air danau yang lambat laun terlihat menghitam.
"Lagi mikirin apa? Pacar?" tanyanya memecah kesunyian.
Aku menoleh. Melihat dia memandang lurus ke arah danau seperti patung tua yang termakan jaman. Dingin. "Nggak. Saya nggak punya." jawabku.
"Kasihan," ejeknya terkekeh, "Masih muda, tapi jomblo."
Aku tertawa kecil. Mengubur semua yang ingin aku ceritakan kepada orang yang baru aku temui dua hari ini. Aku tidak kenal Dia, apa gunanya menceritakan semua kisahku. Atau, barangkali memang harus menceritakan kepada orang yang tidak dikenal? Entahlah.
"Kang, danau ini apa namanya?" Aku mengalihkan pembicaraan.
Kali ini dia menoleh kepadaku. Tatapannya masih seperti kemarin. Dingin dan misterius. "Saya tidak tahu persis. Penduduk sini hanya menyebutnya sebagai Telaga, tanpa memberi nama seperti kebanyakan tempat yang lain," jawabnya.
"Aneh juga yah. Dimana-mana, selalu ada yang mengikut penyebutan sebuah tempat. Danau Ranukumbolo di gunung Semeru, misalnya. Atau Danau Segara Anak di Rinjani. Iya, kan?"
"Wah, kamu sudah jauh perjalanannya. Sudah sampai Lombok segala,"
"Ah, saya cuma pejalan biasa saja. Kebetulan bisa beruntung mengunjunggi semua itu,"
"Saya tidak pernah punya kesempatan kesana," kali ini aku mendengar suaranya lirih, seperti terluka.
"Kenapa? Akang masih muda dan kuat. Pasti bisa lah. Agak mahal memang ongkos perjalanannya. Saya pun harus menabung lama untuk bisa kesana," Aku menghiburnya.
Dia tertawa kecil, "Bagaimana kalau persoalannya bukan itu?" tanyanya.
"Lalu?"
Tak ada jawaban.
"Waktu!" katanya kemudian. Lirih. "Waktuku sudah habis. Dan terkunci ditempat ini," jawabnya. Kemudian bangkit. Dan berjalan ke arah telaga. Membiarkan kaki-kakinya terbenam dalam air yang dingin. Menoleh ke arahku, "Mandi?"
Aku menggeleng, "Dingin!"
Dan Dia mencelupkan seluruh badannya ke dalam air.
**
Gelas enamel kumal menyisakan separuh kopi yang mulai dingin. Seekor semut liar berlari panik dibibirnya ketika ku angkat. Yah, sama seperti aku, semut itu pun sendirian berkela dalam dunia yang maha luas ini.
"Apakah kamu terpisah dari rombongan, semut kecil? Atau memisahkan diri dari hiruk pikuknya dunia? Seperti aku!"
Gelas itu, ku letakkan kembali, urung ku minum isinya.
Hey, kemana Lelaki itu. Aku tak mendengar riak air atau melihat Dia di Telaga, Lama sekali dia menyelam.
Comments
Post a Comment