Skip to main content

Lelaki : Malaikat, Jangan Tidur Dulu!


Kalau saya boleh minta, malam ini maunya saya mimpi terus. Jangan bangun pagi, dan jangan ada dikehidupan nyata. Dunia ini, terlalu standar jika dibandingkan dengan kehidupan dunia mimpi yang penuh dengan keajaiban.

Sekarang, saya sedang bermimpi. Tentang sebuah rumah tanpa pagar. Berhalaman hijau dengan tumbuhan perdu yang asri. Rangkaian kembang aneka warna, semerbak dipagi dan sore hari. Dari halaman ini, kami bebas bermain dengan segala keceriaan, setelah sibuk bekerja berbulan-bulan. Waktu kami memang sangat pendek. Dalam beberapa bulan, pertemuan kami hanya beberapa hari. Namun, rumah kecil ini, seperti sebuah obat yang membuat kami sembuh dan menemukan kembali tujuan.

Halamannya tidak luas. Rumput gajah kecil-kecil menghijau. Dia yang menyiangi. Mencabut tanaman-tanaman kecil penggangu dan memberi pupuk. Saya menyirami. Sesekali, jahil sengaja mencipratkan air dari selang itu ke tubuh mungilnya yang berjongkok. Dengan bandana merah dan nyanyian kecil. Hingga ketika air itu menyiram badannya, dia akan mengejar saya dan merebuat selang untuk kemudian menyiramkan air lebih banyak dari yang saya siramkan kepadanya. Dan malam harinya, ketika saya demam, dia membalur sekujur badan saya dengan minyak kayuputih dan meminumkan teh hangat. Kemudian mendekap saya dengan mesra.

Lihat ini. Rumah sederhana ini, bernuansa alam. Tak banyak perabotan. Hanya ada sebuah tivi diruang tamu.

Sebuah sofa yang bisa di tarik dudukannya, sehingga membentuk tempat selonjoran bahkan bisa untuk tidur. Dia yang pilih. Katanya, kalau ada tamu yang berkunjung, tak perlu sewa hotel atau antar ke penginapan. Disini saja. Teman kami banyak. Jadi siapapun boleh menginap.

Tapi tunggu dulu. Halaman rumah kami dibelakang, memang sengaja dibuat lebih asri. Kembang-kembang, dan tanamanannya, serta ada air mancur kecil. Disudut itu, ada sepasang kursi dan meja kecil, tempat kami berlama-lama membaca buku-buku kesayangan kami. Dia, yang akan menaruh pisang goreng dan secangkir kopi disana, setiap sore kalau kami dirumah. Dan bir dingin dari kulkas, kalau malam dan kami masih ngobrol dalam temaram lampu yang syahdu. Kalau sudah begini. Rasanya tak ada obrolan kami yang buntu. Otak seperti sudah tersambung. Syaraf-syaraf dalam otak kami, memang sudah menjalin satu sama lain. Bahkan, sebelum masing-masing kami mengucap sesuatu pun, sepertinya kami sudah merasakan.

Saya yang ngotot menempeli dinding-dinding belakang kami dengan point-point panjat dinding. Ada carmantel tergantung dan dibuat cukup aman untuk kami iseng-iseng menghabiskan pagi hari. Mulanya, itu akan ditaruh di depan. Namun, karena kami yang jarang dirumah, rasanya lebih aman kalau ditaruh dihalaman belakang.

Malaikat, kau dengar kan, obrolan kami ini? Saya tahu, kamu tak pernah tidur. Dan punya akses ke Tuhan. Sampaikan kepada Dia, saya mau membawa mimpi saya ke dunia. Saya sudah bicara langsung, tapi saya yakin, kamu bisa punya bahasa lebih baik dari saya. ... (bmkr/0212)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny