Skip to main content

( Old Post) Pangrango, Sebuah Cerita!




Mencumbu Cantigi Dua Puncak
Sebuah catatan perjalanan

Sore itu, petir menggelegar dengan kencang. Langit cerah berganti dengan gumpalan awan abu-abu dan kehitaman. Bergerak dengan cepat tersapuu angin sore. Hutan kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, seketika menjadi gulita. Daun-daun berhenti bergoyang, seperti tegang menantikan apa yang akan terjadi setelah petir berteriak dengan kencang. Suara burung-burung lenyap. Tinggal kabut tipis menari-nari dengan gembira. Entah tidak peduli, atau terbang mengamini pekikan guntur.

Hari itu, kami akan turun kembali ke pos Cibodas. Setelah kemarin pagi kami naik ke Pos Kandang Badak. Ah, memang gila rasanya. Dalam satu bulan kemarin, aku sudah menginjakkan kaki dipuncak Gede dua kali. Sama persis ketika msa-masa perkenalanku dengan dunia pendakian gunung.

Sabtu pagi-pagi sekali, aku sudah bergerak menuju titik pertemuan kami di UKI. Mamang, untuk pendakian ini, aku hanya ikut saja. Semuanya sudah diatur oleh Om Pur. Seorang kenalanku lewat media MP yang kemudian aku tahu, bahwa tinggal tidak jauh dari tempat tinggalku. Jadilah, sejak pertama bertemu, kami membuat rencana pendakian-pendakian selanjutnya. Ini adalah pendakian ketiga ku dengan beliau. Aku bertugas mendampingi istrinya. Pendakian pertama kami sebelumnya adalah Salak, saat liburan Idul fitri. Kemudian ke Puncak Gede dengan kantornya via putri. Dan hari ini, aku berencana akan menggapai puncak Pangrango dengan Istrinya.

Turut serta dalam pendakian itu, ternyata adalah dua teman Om Pur yang sebenarnya sama-sama menunggu mereka di UKI. Namun aku tidak mengenalinya, dank arena tempat kami menunggu memang beda. Mas Bobit, yang beralasan ada keperluan keluarga ke kantornya, karena sabtu harus masuk. Meski hanya untuk melakukan aerobik bersama seluruh staf kantor. Satu lagi, biasa di panggil mas Penyo. Seorang wartawan majalah Ekonomi, mantan ketua Mapala salah satu kampus di Jogja. Yang pada terakhir aku ketahui, adalah teman dari seorang sahabatku di Jakarta. Sempitnya dunia.

Didalam mobil, sudah ada lima orang, om Pur dan Istrinya, Erik, Augi dan adikku. Total kami semua delapan orang.

Matahari baru saja menggeliat di ufuk timur. Namun jalanan sudah ramai sekali. Meski ini bukan hari kerja, namun tak pernah berpengaruh rupanya terhadap aktifitas Jakarta yang menjemukan dan sangat sibuk. Itu pula kemudian yang membuat Erick, memutuskan untuk naik bersama kami hari ini. Dia bosan dengan kehirukpikukan Jakarta sang Mega Politan yang selalu menekan urat syaraf. Kehidupan sebagai karyawan, kadang memang sangat rentan dengan stress. Atasan, kolega, rekan kerja, kelakson mobil, motor-motor yang balapan sepanjang hari, polisi dijalanan, angkutan umum, tukang asongan, bahkan selembar billboard dipinggir jalan, bisa membuat mood rontok. Hingga stress mendera tanpa permisi.

Tol Jagorawai, pun bukan pengecualian. Semuanya ramai. Bahkan hingga kami tiba di kaki gunung Gede, di Cibodas, geliat kehidupan sudah terasa. Warung-warung yang berjajar sepanjang jalan, sudah mulai dibuka. Aktifitas ekonomi sudah mulai lakukan. Ini akhir pekan. Kawasan wisata Cibodas, memang selalu menjadi primadona penduduk sekitar. Terutama Jakarta. Kawasan yang berudara sejuk ini, menjadi salah satu dari sekian banyak target kunjungan masyarakat Jakarta. Lengkapnya fasilitas, dari taman wisata alam, warung-warung sovenir, restoran, hotel dan penginapan, sarana angkutan umum, sampai dengan kawasan parkir yang memadai, semuanya lengkap. Kripik bayam, kripik tempe, atau sale pisang, tinggal pilih. Berbagai sovenir, dari kaos sampai tas yang tebuat dati batok kelapa, siap dibawa pulang. Belum lagi, penjual tanaman hias, seperti kaktus dan bogenville. Akhir pekan selalu membawa berkah tersendiri untuk mereka.

Sebelum memulai pendakian, kami mengisi perut di sebuah warung di pinggir jalan kawasan Taman Nasional. The manis hangat dan sepiring lontong sayur adalah menu untuk ku hari ini, Wah, sedap betul rasanya. Apalagi perjalanan dari Jakarta ke sini yyang berkisar dua setengah jam di pagi buta, membuat cacing-cacing perutku mulai berteriak minta jatah. Mobil sudah diparkir dengan aman ditempat biasa. Disini, kami bertemu dengan beberapa teman Volunter TNGP yang mengurus perijinan. Selesai makan, kami bergerak perlahan, menuju pos registrasi ulang. Pos itu terletak dipintu masuk kawasan. Ijin untuk pendakian dan ijin kunjungan ke air terjun Cibeureum yang memang terletak disekitar jalur pendakian di urus disini. Untuk satu kali kunjungan ke Air terjun, dikenakan tariff tiga ribu rupiah saja.

Kami mampir di pos Relawan Montana, kemudian. Bersilatuhmi dengan beberapa teman disana. Dan ternyata sudah ada Om Bongkeng ( Penjaga Makam) dan Mbak Enoy disana. Terbalut kantung tidur nya masing-masing. Wah, padahal sudah jam sembilan. Namun mereka masih bermalas-malasan. Tahulah aku, bahwa rombongan kami akan bertambah tiga orang. Abah, sang Relawan, juga akan turut ikut untuk mendampingi kami. Lengkap lah sudah.

Setengah sepuluh tepat kami bergerak naik. Setelah mengepak ulang dan menitipkan satu dua barang yang tidak kami butuhkan dalam pendakian. Jalanan Taman nasional masih seperti dulu. Batu-batu tersusun rapih, disepanjang jalan. Udara cerah berawan. Kicau burung-burung pagi bersahutan menyambut kami. Melalui jalanan berbatu-batu membuat langkah cepat sekali lelah. Apalagi tangga-tangga yang dibuat. Sungguh merepotkan. Namun, untunglah, ada suara burung-burung merdu yang terus bernyanyi. Beberapa kali, kami berpapasan dengan rombongan yang akan berkunjung ke air terjun.

Jalur pendakian ini, memang memakan waktu lebih lama dari jalur pendakian lewat Gunung Putri. Namun, pemandangan yang dapat kita saksikan, sangat-sangat memukau. Pertama-tama, kita akan disuguhkan dengan Danau Telaga Biru. Sebuah danau kecil yang berair biru hijau jika terkena sinar matahari. Berada pada ketinggian 1575mdpl, tempat ini memang sangat ideal untuk melakukan relaksasi atau beristirahat selama menempuh perjalanan. Dan sessi wajib photo-photo pun kami lakukan. Beberapa ekor ikan menari-nari riang diantara hijau nya air danau. Hembusan angin dingin, lama-lama membuat kami harus bergerak naik juga,.

Perjalanan kami lanjutkan siang itu, Rencananya kami akan makan siang di daerah rawa denok. Melintasi catwalk yang membentang menembus hutan perdu dengan siraman matahari pagi menjelang siang, kami dimanjakan dengan pemandangan Pangrango yang malu-malu berselimut kabut putih. Seperti kapas yang melingkari sebuah benda hijau raksasa. Gemericik air terdengar mempesona ditelinga. Jembatan kayu itu memang belum lama ada, sekitar tiga tahun yang lalu. Namun karena kondisi hutan Gunung Gede termasuk yang curah hujannya cukup tinggi, maka bolong disana-sini jembatan karena kayu-kayu yang patah tidak dapat dihindari. Dulu, sebelum jembatan ini dibangun. Kami malah harus melewati rawa-rawa sepanjang jalur itu. Namun kini menjadi mudah.

Jalanan kembali berbatu dan menanjak. Namun pos Panyangcangan sudah dekat sekali. Sebuah bangunan permanen diketinggian 1625mdpl. Ini merupakan pos pertigaan, untuk menuju puncak dan Air terjun Cibeureum. Sebetulnya, ada tiga air terjun, yang terdapat disana, Cibeureum. Cidendeng dan Cikundul. Serta terdapat goa lalay yang berada tidak jauh dari lokasi air terjun. Namun karena merupakan tempat yang dikeramatkan, maka lokasi goa memang tidak dibuka untuk wisata.

Sepuluh menit kemudian, kami mendaki kembali punggungan gunung Gede. Rasanya, baru kemarin kami kemari, namun, hari ini, nafas kembali memburu. Udara dingin menusuk berkali-kali kedalam tulang. Namun panas matahari yang menerobos dari sela daunan pohon, berkali-kali menyelamatkan kami dari dingin yang terus menusuk. Dipos Rawa Denok, kami beristirahat untuk makan siang. Kali ini, rombongan yang tadinya terpecah bersatu kembali. Abah, sang Relawan, Om Bongkeng dan Mbak Enoy, Erik dan Augi, dan semuanya talah lengkap. Makan siang hari itu menjadi sangat ramai, tawa dan canda selalu terdengar. Udara sejuk menemani kami sepanjang hari. Kicauan burung-burung tidak henti-hentinya bercengkrama, memanikan nyanyian indah tiada tara.

Kira-kira satu jam kemudian, kami sudah sampai di Pos Air panas pada ketinggian 2150dpl. Suhu air panas disini sekitar 75 derajat celcius. Lumayan juga. Aku dan tante Inung masih sempat-sempatnya bersauna. Sekedar menikmati uap alami air panas yang menyegarkan. Namun, karena hari semakin siang, kami herus bergerak ke Kandang Badak. Jadi acara bermandi uap, kami percepat.

Pukul setengah empat sore kami semua berkumpul dikandang badak. Pos yang berada pada ketinggian 2400dpl ini, konon dahulu merupakan batas dari Taman Raya Cibodas. Kalau beruntung, kita dapat menjumpai mawar-mawar cantik yang sedang berkembang. Namun kemarin, kami belum beruntung memandangi cantiknya mawar-mawar itu.

Kami akan bermalam disini. Untuk melakukan summit attack besok pagi. Namun karena hari ini teman-teman dari millist Jejak Petulang mengadakan acara pendakian juga, aku harus bergegas naik ke puncak dan menjumpai mereka di Alun-alun Surya kencana. Jadilah, aku mendaki sendiri, menyusul teman-teman ke sana. Namun, diatas tanjakan setan, aku bertemu dengan mereka, dan menemani mereka ke puncak. Rencana untuk ke Lembah Surya Kencana aku batalkan, karena harus kembali ke kandang badak. Sementara malam sudah merangkak naik. Gerimis sudah mulai menetes satu-satu. Jadilah aku turun kembali ke kandang badak sendiri. Wah, perjalanan malam sendiri dari puncak ke Kandang Badak lumayan seru. Sendiri menembus gelap malam dan hutan yang seoalh menjadi jarring. Sementara pohon-pohon seakan-akan berubah jadi monster yang siap menerkam.

Setelah makan, kami semua tidur dengan hujan yang terus turun hingga pagi menjelang. Udara dingin diluar sana, membuat kami tidur sangat nyaman. Meski suara-suara dengkur terdengar dengan keras dari tiga tenda disebelah tenda kami. Kami membuka empat tenda memang. Dan berkumpul membentuk bulan sabit dengan bentangan flysheet diatasnya. Namun, tenda Erick cukup bermasalah dengan hujan. Sementara kami, masih nyaman berselimut sleeping bag.

Pagi hari, udara cerah sekali. Langit biru membentang tanpa batas. Pangrango tersenyum dengan manis. Aku, tante Inung, Erick serta Augi, memang akan mendaki puncak Pangrango pagi ini. Namun, separuh rombongan, Om Pur, Mas Penyo, Mas Bobit dan Qisyut akan mendaki Puncak Gede. Dan basecamp manager kami ada tiga orang. Mereka berjanji menyiapkan masakan enak setelah kami pulang. Setelah packing, kami berempat naik perlahan ke puncak Pangrango.

Dua setengah jam, kami harus melewati pohon-pohon tumbang dan ranting-ranting yang berserak. Naik pada tanah licin dan berbatu-batu. Membelah hutan Pangrango yang masih cukup asri. Daunan yang berguguran sepanjang jalan, dan bungkus-bungkus makanan yang ditinggal para pendaki, kontras terlihat. Meski tidak sebanyak di Gunung Gede, namun masih saja ada. Jalanan terus menanjak, tanpa bonus sama sekali. Berkali-kali kami harus melompati pohon tumbang, atau merunduk karena tterlalu tinggi untuk dilompati. Melewati celah sempit rekahan tanah, hasil gerusan air hujan yang terus menerus. Sebuah tanda keajaiban alam yang masih bisa kita nikmati. Pohonan berusia ratusan tahun terserak kanan kiri. Ranting-ranting yang menua, membentuk symbol-simbol alami yang unik. Lumut-lumut hijau menandakan betapa pancaran matahari susah untuk menmbus kanopi pohon yang memang rimbun.

Hingga, akhirnya kami berbelok ke kanan dan berjalan landai. Sangat landai. Setelah melewati celah sempit yang agak panjang. Sebuah tugu biru dan sebuah bangunan kayu berdiri kokoh disana. Beberapa pendaki nampak sudah bersiap-siap untuk turun. Inilah puncak tertinggi gunung Pangrango, dengan titik triangulasinya yang terkenal. Almarhum Soe Hok Gie pernah berphoto dititik ini. Dan siapapun, pasti ingin merasakan apa yang beliau rasakan pada saat itu. Jauh dibelakang kami, puncak gunung Gede tetutup awan gelap. Kabut tebal.

Kami menerobos hutan cantigi yang tidak terlalu tinggi di belakang pondokan puncak. Turun dengan santai dan sampai di Alun-alun Mandalawangi dengan selamat. Udara cerah menyambut kami. Awan putih jauh terbang diantara birunya langit. Rimbunan Edelweis menyambut kami dengan liukan nya yang menawan tertiup angin siang. Ramai juga para pendaki disini. Namun, nampaknya mereka semua sudah akan pulang. Mereka sedang mengepak kembali perlengkapan mereka. Aku mengusulkan bergeser kearah barat, didekat mata air. Dari sini, jika cuaca cerah, kami bisa menyaksikan Gunung Salak yang membentang dengan indah. Namun, hari itu kami belum beruntung. Kabut masih sangat tebal.

Jadilah kami membuka bekal dan makan siang sambil ditemani gemericik air Mandalawangi. Dibelakang kami, langit biru berganti-ganti terlihat dengan kabut yang hilir mudik. Ada buah anggur, ada kacang hijau cair, ada telur asin, dan ada teh hangat yang kami bawa dari Kandang Badak. Serta beberapa lembar roti panggang. Sedap betul rasanya. Hingga tanpa terasa, kami sudah harus pulang ke base camp. Namun, sebelumnya, kami masih menyempatkan diri untuk berphoto bersama secara lengkap. Aku, Tante Inung, Augi dan Erick. Kami berphoto ditengah-tengah alun-alun berlatar biru langit dan rimbunan edelwies.

Dan sekarang, kami sedang berjuang dalam hujan untuk mencapai Pos Cibodas. Menembus malam yang sudah merambat naik, serta gemertak gigi yang beradu karena kedinginan dan baju-baju yang basah meski sudah mengenakan jas hujan.

Jadilah, aku mencumbui dua puncak dalam pendakian ku hari ini. Tuhan maha besar, telah memberikan nikmatnya mendaki sendirian padaku. Dan berhasil mengantarkan tante Inung untuk naik ke titik triangulasi dan berphoto narsis disana. Well done tante.
Boim Akar
1-2 November 2008



Comments

  1. misi kang....
    fotonya bague euy...
    numpang tanya, ada yang liat tukang Bajigur engga? saya lagi kepengen Bajigur yeh..sama Ubi Rebus dan pisang rebusnya, hehehe

    ReplyDelete
  2. Cuma dua foto bro..?
    Tambah lagi dong...
    Biar makin resep ama catpernya..

    ReplyDelete
  3. mas boim... gede-pangrango memang selalu ngangenin yaaaaah...

    ReplyDelete
  4. hehhe...
    blom sempet upload yang banyak bro!! sabar
    sabar!

    ReplyDelete
  5. ya mbak ries...klo bisa smingu sekali pengen kesana! wakaka!

    ReplyDelete
  6. lah...tawa aja...gw kasih pacet neeh!! tp gak dalem botol sekarang...asli!

    ReplyDelete
  7. hihi,knapa dlm botol,.mau di piara ya?..

    ReplyDelete
  8. nich foto kpn diambilnya bang
    pas gw ngorok di pangrango ya? :)

    ReplyDelete
  9. iya..
    riza kan phobia stangah mati sama pacet...hahahha!

    ReplyDelete
  10. yang mana koh? yang bareng2 yah....itu waktu lw di kandang badak!! dodol!

    ReplyDelete
  11. maklum artis kaya gw khn lupa,kpn di fotonya.....hehehehe......

    ReplyDelete
  12. artis apa koh?? artis kemedi puter lw mah...wakakak!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny