Skip to main content

Sebuah Cerita Dari Garut Selatan

Sebuah Cerita Dari Garut Selatan
Edisi Dari Pantai ke Pantai
Dari susur pantai Nature Trekker Indonesia – Pamengpeuk –Papandayan
Oleh : Boim Akar

Angin pagi berhembus dengan lembut. Membelai wajah yang masih lusuh, karena perjalanan panjang dari Jakarta. Kami sudah hampir sampai. Subuh baru saja lewat. Semburat keemasan perlahan membias diufuk timur. Terhalang bongkahan bukit yang berdiri kokoh. Kabut tipis menari nari berkejaran dengan burung-burung yang memulai peruntungan mengadu nasib ini hari.

Kampung ini begitu tenang. Jalur perlintasan antara kota Garu yang sudah kami lewati beberapa waktu sebelum azan subuh berkumandang, dengan Pamungpeuk, sebuah kabupaten di sebelah selatan kota Garut. Semuanya nampak indah. Hijau membentang dengan sangat leluasa. Hembusan angin begitu bermakna disini. Beberapa mobil besar mengangkut hasil bumi yang akan dijual ke kota. Maksudnya Garut. Yah, mereka menyebutnya dengan kota saja. Karena keberadaan mereka yang jauh di pelosok.

Mobil bus tiga perempat yang kami naiki merapat. Berejejer dipelataran sebuah warung makan, yang nasi dan lauknya sudah dingin karena kami datang terlalu pagi, sementara yang baru masih belum lagi siap disajikan. Di pojok warung, teman-teman yang lain berebut berrwudhu disebuah tempat wudhu pada sebuah mushola kecil. Sementara yang lain berebutan ke kamar mandi. Khas sekali. Ritual sebuah perjalanan panjang.

Aku masuk dan mendapati semua yang ada sudah menjadi dingin. Mengurungkan niatan untuk makan pagi itu, betapapun perut rasanya sudah kelaparan sekali. Namun kemudian memesan segelas teh hangat panas, hanya untuk sekedar menghangatkan badan yang mulai dibalut dingin. Sementara menyaksikan sawah-sawah yang membentang menghijau dibelakang. Mendamaikan sekali. Namun, belum lagi the di minum, kami harus melanjutkan perjalanan.

Dan lagi, perjalanan panjang masih harus kami tempuh. Meninggalkan Jakarta pada malam hari, pukul sepuluh, sekarang hampir jam tujuh pagi. Jalanan mulus kami tembus dengan lancar. Sepi. Jauh berbeda dengan Jakarta yang selalu hingar bingar dengan klakson mobil-mobil yang saling salip. Disini, semuanya berjalan teratur. Meski motor-motor tanpa plat nomor polisi bertebaran disepanjang jalan, namun tak ada raungan klakson yang memekakkan telinga.

Mata yang baru saja bersentuhan dengan terang rasanya sedikit silau. Jalanan berliku menakjubkan. Dikanan adalah dinding bukit tinggi menggapai langit yang biru sendu. Di sebelah kiri, matahari yang baru saja menyiramkan cahaya nya di hijau daunan memantulkan nya dengan sempurna kemataku. Kabut membias dilibas cahayannya yang keemasan. Hijau menghampar tak berujung. Membentur ujung langit yang berwarna putih biru. Ah…aku membuka jendela. Membiarkan udara Jakarta yang masih tersisa dalam mobil berganti dengan udara sejuk nya. Wajah-wajah yang masih kuyu seketika menjadi cemerlang. Demi menyaksikan sebuah keajaiban yang membentang tiada batasnya.

Hingga pada sebuah daerah yang berkelok tajam, keajaiban itu kembali terjadi. Sebuah air terjun yang sangat tinggi nampak anggun membelah bongkahan bukit. Dari ujung puncak nya, hingga mencapan dasar pandangan mata. Alirannya yang putih membentuk sebuah ilusi mistis yang indah. Seperti sebuah selendang yang terurai panjang dalam jemuran. Atau seperti sebuah guratan nadi pada tubuh bumi yang elok. Tidak, itu adalah kilauan permata yang membentang sepanjang mata memandang.

Namun itulah sebuah mahakarya Tuhan yang agung. Kelak, aku akan kesana lagi. Hanya untuk memastikan bahwa sungguh masih bisa aku menikmati keelokan suasana air terjun yang sangat indah tersebut!

Siang merambat cepat. Mobil berbelok kearah pantai Sayang Heulang. Pantai yang selalu menjadi misteri buatku. Aroma laut kemudian mengganti atmosphere sekeling kami. Bau garam tercium menusuk. Hamparan biru kemudian mengganti. Jauh sekali. Membentur cakrawala yang kelabu diujung sana. Lautan luas. Laut selatan. Samudra tanpa batas. Perahu-perahu nelayan yang bersandar di dinding pantai berkarang dan berlumut. Pasir putihnya membentang jauh. Hingga seujung mata memandang. Mata-mata memandang laju rentetan mobil-mobil kami yang merapat dijalan pinggir pantai. Ada beberapa warung yang sudah buka. Ada beberapa penginapan yang tersedia. Berbentuk gubuk yang indah. Karena menghadirkan panorama laut lepas yang menawan.

Mobil berhenti pada sebuah ujung kampung. Batas laut hanya beberapa meter dari kami. Namun batas ombak, jauh berada di sebelah selatan. Menurut orang yang mengantar kami ke sini, jika sedang pasang, maka batas laut inilah yang juga akan menjadi batas ombak. Awan tebal menggantung di sepanjang batas cakrawala. Namun teriknya matahari membuat pantai menjadi semakin panas.

Pantai ini, jauh dari kesan pantai rekreasi. Pantai wisata seperti ancol atau palabuhan ratu di SUkabumi. Semuanya begitu alami. Ikan-ikan yang digantung oleh nelayan di atap rumah mereka. Hamparan rumput laut yang dijemur untuk kemudian kering dan dijual sebagai komoditi ekonomi. Jauh diujung sana, beberapa nelayan sedang dipermainkan ombak. Mereka memancing ikan dalam gulungan ombak yang tanpa henti. Warna bajunya yang kuning, nampak kontras dengan birunya laut.

Kami mengambil jatah sarapan pagi. Nasi timbel khas daerah Jawa Barat, dengan tempe bacem dan sambal yang rasanya pedas sekali. Namun enak. Kami juga berkenalan dengan Kepala Desa disini. Beliau mengantarkan kami sampai kesini, dan kemarin malam, menjamu teman-teman yang diberi tugas untuk advance dirumahnya. Seorang ajudannya, malah sibuk mondar-mandir membawakan teko-teko besar, ada empat buah, berisi kopi dan the hangat. Ah, makan pagi dalam terik matahari dan semilir angin pantai, membuat beberapa teman sengaja duduk diatas pasir putih. Bergerombol menikmati makan pagi kami hari itu.

Karang-karang terserak dengan abstrak. Tidak teratur. Besar kecil membaur jadi satu. Bongkahan-bongkahan yang artistic, tercipta karena kuasa-Nya, karena gesekan ombak samudra. Membentuk puing-puing magis yang artistic.

Dan rombongan yang berjumlah hampir tujuh puluh orang- atau lebih- itu bergerak perlahan. Merasakan segarnya air laut di kaki-kaki yang hanya bersendal. Kami melompat, menghindari basah, atau malah mencelupkan kaki sekalian. Melompat dari satu karang ke karang lain. Kemudian tertawa senang, karena melihat teman yang basah.
Merah dan warna-warna terang bergerak perlahan. Menembus batas pantai yang entah berujung dimana. Hamparan pasir putih membentang jauh, seolah tanpa ujung. Inilah pasir putih yang begitu sempurna dalam pandangan ku. Deru ombak terdengar nyaring berkali-kali. Rombongan terpecah menjadi beberapa bagian. Masing-masing sibuk dengan kegiatan photo-photo, mengamati ikan-ikan kecil yang terjebak di karang-karang pinggir pantai. Atau terlalu lama ngobrol dengan teman barunya, sehingga lupa untuk meneruskan perjalanan, hingga setelah sadar, dia harus setengah berlari karena tertinggal jauh. Dan menyadari bahwa iini adalah kali pertama dia kesini, dan tidak mau tersesat.

Siang semakin panas. Kami berumpul pada sebuah warung dipinggir pantai. Ada dua batu besar yang dikeramatkan disana. Menurut informasi, kami akan menyebrang muara untuk sampai ke pantai berikutnya. Pasti akan sangat menyenangkan.

Dua batu besat itu, menjadi tempat pemujaan warga sekitar rupanya. Ada dua bangunan putih pada masing-masing batu yang berfungsi sebagai tempat tirakat. Aku terhenyak, ketika tahu, salah satu puncak batuan itu bernama, Puncak Asmara. Wah, bernarkah? Konon, kalau kita berdoa disini, akan cepat mendapat jodoh. Itulah masyarakat dengan segala kepercayaan nya yang masih tradisional. Aku sempat tersipu dibuatnya. Tempat ini sejuk sekali. Meski berada dipinggir pantai, namun pohon-pohon tinggi yang menaungi diantara dua puncak batu itu, membuat tempat ini menjadi sangat enak untuk bersantai. Ada gazebo dari bamboo, yang kemudian tanpa ditanya dulu, kami pakai untuk rebahan. Nyaman betul rasanya.

Dengan perahu sewaan, kami menyebrang muara sungai ke pantai Santolo. Pantai yang lebih indah dengan batuan dan burung-burung camar yang putih, terbang rendah kemudian hinggap pada tonggak-tonggak kayu ditengah. Hanya sekitar 50 meter kami menyebrang. Disini, perahu-perahu nelayan ditambatkan rapi. Aktivitas masyarakat laut yang sebenarnya terjadi disini. Jala-jala yang sedang dijahit. Lelaki-lelaki gagah yang gosong terbakar kulitnya, bau amis ikan-ikan kering dan bunyi motor mesin penarik perahu. Disini adalah kampung nelayan, benakku. Ada transaksi jual beli ikan, yang membuat aku kemudian terdiam. Menyadari betapa kaya nya negeri ini. Betapa bersahabat nya mereka. Meski jauh dari gemerlap kota besar, berada lebih dari seratus KM dari Garut, mereka tetap eksis menjalankan roda ekonomi.
Pantai Santolo. Itulah nama yang tertera pada sebuah papan lusuh dipinggir pantai. Berbentuk teluk dengan sekali lagi, pasir putih tanpa batas. Hanya langit yang berbentur dengan lautan, selebihnya kita hanya melihat hijau pegunungan di ujung sana, birunya langit, putih awan, putih pasir, putih camar, dan batuan coklat yang terserak. Tempat ini nyaris tanpa karang. Seperti terbang rasanya, berjalan pada pasir putih, dengan batas yang samar-samar.

Warung-warung beratap nipah, hari ini tutup. Mungkin karena ini hari sabtu. Jadi belum banyak yang berkunjung. Rumah-rumah tinggal para nelayang terdapat di belakang warung-warung tempat mereka menjajakan aneka makanan dan minuman. Namun disini sangat susah mencari es batu. Tak ada minuman dingin disini. Mungkin karena listrik yang masih terbatas. Atau tidak ada sama sekali. Karena aku tidak mendapati kabil-kabel sutet atau kabel instalasi dari tadi. Mungkin aku salah.

Roda ekonomi mereka berjalan apa adanya. Mengandalkan hasil laut, yang konon sekarang berkurang drastic, karena jatah melaut yang kurang juga, akibat mahalnya ongkos solar untuk motot penggerak perhahu, juga karena penangkapan dalam jumlah besar dari kapalkapal milik cukong-cukong yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan, sebagai nelayan tradisional, mereka sangat mengandalkan laut, dengan segala siklus dan ketersediaan alami yang dihasilkannya. Beruntung mereka sudah mengenal rumput laut sebagai komoditi selain ikan. Jadi, bisa dijadikan sebagai sumber ekonomi lain. Laut memang tempatnya barang ekonomis. Bahkan air asinnya pun, bisa mendatangkan uang. Percaya atau tidak.

Perjalanan berlanjut. Kelompok kami bertebaran. Warna putih pasir menjadi semarak dengan kuning, merah, jingga, ungu, biru dan lain-lain. Tawa-tawa membahana sepanjang jalan. Panas sekali. Namun inilah pantai.

Hingga siang hari, kami tiba dipantai ketiga. Pantai Karang Papak. Dalam bahasa sunda, papak berarti pipih. Entah kenapa dinamakan demikian. Namun disini, menurut seorang warga, sering dijadikan tempat menyelam. Bule-bule dan pemandu-pemandu datang, kemudian singgah, dan meluncur ke laut untuk menyelam. Ombak sudah terlihat besar.

Kami menumpai beberapa nelayan yang sedang membersihkan lobster hasil tangkapan mereka. Rupanya tangkapan mereka cukup banyak hari ini. Lobster-lobster itu disikat dengan sikat halus. Kaget juga, ketika harganya sekitar 300ribu per kilo. Dengan besar lobster itu, satu kilo, paling banyak berisi 3 ekor.

Makan siang datang terlambat. Namun, tidak menjadi soal. Ada rujak buah super pedas yang menemani aku ngobrol dengan beberapa teman. Spanduk dipasang. Beberpa perahu bersandar dipantai, sementara para pemancing ikan sibuk dengan joran-joran panjang ditegah sana. Timbul tenggelam dipermainkan laut lepas. Ditempat ini, kejutan, yang entah sudah berapa kali peserta dibuat terkejut, kembali terjadi. Teman-teman dari Sioux membawa ular King Kobra dan Bandotan Macan. Ini adalah sesi perkenalan ular.

Interaksi dengan alam bebas, membawa konsekwensi yang lain. Sebagai tamu dialam, kita akan berhadapan dengan penghuni-penghuninya. Ular, adalah salah atunya. Namun ketidaktahuan cara menangani ular, seringkali binatang melata itu hanya akan jadi pemuas nafsu parang yang dimiliki oleh para manusia. Atau kayu, batu, pisau atau apapun yang akan mengakakhiri umur sang melata.

Sioux adalah sebuah Lembaga Studi Ular, yang mungkin, hanya ada satu-satunya di Indonesia. Setidaknya, aku baru mengenal satu ini. Mengajarkan kami, tentang bagaimana mengenal ular itu sendiri. Indentifikasi jenis, tingkat bisa atau racun, jenis-jenis racun dan sebagainya, Meski sessi yang dihadirkan terlalu cepat, namun kami masih banyak sekali menyerap inti dari pengetahuan yang diberikan hari itu. Hari ini, mungkin ada lebih dari sepuluh atau dua puluh peserta yang berubah cara pandangnya, tentang ular. Takut berubah jadi penasaran. Ngeri dan jijik berubah jadi keingintahuan tentang apa dan bagaimana. Hingga tanpa henti-henti kami bertanya kepada Aji, sang founder Sioux dan Iil sang perempuan ketua. Itulah interaksi yang sangat seru dengan sebuah momok dalam pikiran yang masih membekas hingga sekarang.

Kemudian, makan siang datang. Ada gerimis turun satu-satu. Udara masih panas tak terperi. Namun wajah-wajah berminyak itu nampak ceria.

Rasanya, hari ini akan terus mengalir dengan tanpa henti. Berjalan dan berjalan bagai tanpa ujung. Selepas makan, kami melanjutkan sisi laut pantai Karang Papak menuju ladang berkemah kami. Betapa panitia memang sudah merancang kegiatan ini dengan sangat rapi. Pada satu muara sungai, kami menyebranginya bersama. Pikiran masih dihantui panas membakar dari sang raja siang, namun ternyata perjalanan berbelok hingga ke terpian batas antara perkamungan dengan laut. Kami melintasi lading penggembalaan ternak yang hijau. Beberapa domba dan kambing merumput dengan tenang. Seoalah tidak terganggu dengan kehadiran barisan panjang kami. Sejurus kemudian, hamparan sawah membentang didepan kami. Padi-padi menguning dengan indah. Hijau dan kuning memenuhi pandangan mata. Sementara nyiur melambai dengan tenang, dihembus angin pantai yang lembut. Rombongan membelah persawahan. Berbaur dengan kelebatan bulir-bulir padi yang hampir dituai.

Hanya burung-burung pemakan padi yang merasa terganggu dengan kedatangan kami, mereka mencicit dan terbang berkelompok. Membentuk formasi-formasi menakjubkan. Terbang seolah-olah akan jauh, namun secepat kilat menukik berbalik mencari padi yang lain. Ibu-ibu petani, sang pemilik sawah, berusaha menghalau burung-burung itu dengan cara berteriak-teriak. Menarik seutas tali yang membentuk jalinan-jalinan memenuhi atas padi. Jalinan-jalinan itu tersambung satu dengan lainnya. Ada bendera-bendera dari plastik dikait pada tiap tali-tali. Sehingga ketika pusatnya ditarik, akan melambai-lambai sebagai penghalau burung. Cara tradisional yang masih dipakai dan cukup efektif.

Persawahan itu berujung pada sebuah sungai yang lebih besar dari yang pertama. Arus nya deras betul. Rencananya, kami akan menyebrangi sugai ini, jika airnya tidak terlalu deras. Namun, hujan lebat dihulu membuat sungai itu menjadi sangat keruh danderas sekali. Jadilah kami kembali membelah persawahan yang ternyata masih sangat panjang. Hujan mengguyur tanpa ampun, ketika kami tiba ditengah persawahan. Kami harus kejalan utama, sebuah jalan raya yang menghubungkan kami dengan tempat berkemah. Dan dalam hujan, kami terus berjalan. Dan, ajaibnya, hujan ini kemudian baru berhenti pada pukul sepuluh malam harinya.

Kemah kami bertempat di bumi perkemahan Gunung Geder. Jangan tertipu dengan namanya, Karena ini sama sekali bukan gunung. Tapi kami berkemah ditepi pantai. Yah, sebuah ceruk antara dataran dan pantai. Dasarnya berpasir, jadi tidak akan becek atau kotor jika hujan turun. Semua peserta berpartisipasi memasang tenda. Pembelajaran yang baik. Sehingga mereka terbiasa dengan memasang dan membongkar peralatan mereka sendiri kelak. Ini adalah awal ketertarikan sebenernya dari sebuah perjalanan.

Hujan tak berhenti semalaman. Dan acara bakar ikan tidak bisa dilakukan. Namun makan malam masih berlangsung dengan meriah. Nasi gelondongan kami makan seharian. Dari sarapan, hingga makan malam, dan esok pagi ketika sarapan. Namun, kami menikmatinya. Ikan bakar disajikan dengan cara lain. Sudah siap makan. jadi kami tidak perlu lagi membakar nya di camp ground.

Malam merambat naik dengan perlahan. Hujan yang mengguyur kami seharian, berganti dengan cahaya bulan yang terang. Satu-satu kami keluar. Membentuk lingkaran kecil dan bermain gitar. Lagu-lagu lembut mengalun, mengantar kan para peserta yang tidak mau keluar ke peraduan. Sementara kopi dan sedikit makanan menjadi teman kami menghabiskan malam ini, hingga subuh menjelang.

Itulah, perjalanan kami menelusuri pantai-pantai indah yang dimiliki Garut Selatan. Tiga pantai sekaligus. Membekas dalam ingatan dengan jelas, bau garam yang ditebangkan angin, hijau biru nya langit dan lautan, sawah-sawah dan bau Lumpur yang tertinggal disol sepatu dan sandal kami. Serta nyanyian pengantar tidur yang melelapkan kami. Pengenalan ular yang merubah paradigma dan momok mengerikannya, dan persahabatan yang terjalin dengan indah. Namun perjalanan hari ini, belum akan berakhir. Kami masih akan berangkat ke Gunung Papandayan.

Comments

  1. weleh.. baru muncul sekarang pakdhe.. ? butuh semedi lama ya.. hehehe

    ReplyDelete
  2. Nah, yg berangkat ke Papandayan nya belon diceritain..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny