Sebuah pertanyaan kecil menyeruak di ujung perjalanan bulan syaban yang hampir habis. Kenapa harus puasa? Apa pentingnya buat saya?
"Harus"
Dalam ayat perintah puasa, Tuhan berfirman, Hai orang-orang beriman, DIWAJIBKAN atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Wajib, artinya harus. Sesuatu yang tanpa kompromi dan tanpa pengeculaian harus dilakukan.
Tapi, jika dicermati dalam-dalam, hanya orang yang beriman saja yang diwajibkan. Yang merasa dirinya tidak beriman, silahkan saja untuk tidak berpuasa. Maka jangan heran, pada masa bulan ramadhan pun, warung-warung makan tetap buka tanpa takut "digebuki". Restoran di mal-mal penuh sesak dan harus mengantri pada jam-jam makan siang dan yang datang, banyak juga yang berkerudung atau yang malam tadi kita jumpai di masjid sama-sama taraweh. Macam-macam saja alasannya. Dari yang kecapean karena seharian bekerja, sampai sakit maaq, atau lupa sahur.
Padahal, puasa seharusnya justru menjadi pemacu semangat bekerja, karena mengandung obral murah pahala dihari-harinya. Dan menurut pakar kesehatan, sakit yang berhubungan dengan pencernaan, obatnya, ya puasa. Kalau alasan lupa sahur, atau kesiangan dijadikan alasan, anak kelas lima sekolah dasar patut diacungkan jempol. Karena masih punya motivasi puasa, supaya bisa mendapat hadiah baju baru di hari raya nantinya. Tapi, kalau alasan itu dijadikan bantalan oleh orang-orang dewasa, konyol namanya.
Terus, apa bedanya yang beriman dan yang tidak beriman? Secara fisik mungkin tidak berbeda. Bisa saja sama-sama kecil, sama-sama pendek, sama-sama tinggi, cantik atau jelek, tidak ada pembeda. Yang berdahi hitam atau berdahi klimis juga bukan bedanya. Yang jelas membedakan adalah, apakah dia mau puasa atau tidak. Ya cuma itu. Kan perintahnya memang berpuasa, bukan yang lain. Dan yang dibicarakan juga puasa, bukan yang lain.
Orang yang tepanggil untuk melaksanankannya, boleh jadi sudah beriman. Namun, kadar keimanan juga tidak bisa dipukul sama besar dan sama kecil. Hati, kemudian menjadi tolak ukur yang tidak mudah diukur, dengan mata telanjang, ataupun dengan alat ukur digital. Makin kompleks kelihatannya. Tidak juga, hanya saja, belum waktunya, membahas tentang ukuran iman seseorang. Lha wong, beriman saja belum. Atau nyaris beriman, karena memang terpaksa ketemu Ramadhan.
Bulan Berkah
Bulan puasa, katanya bulan berkah. Semua orang mendapatkan rejeki melimpah pada bulan ini. Pengemis dan fakir miskin jadi tambah banyak. Lihat saja mereka yang "berubah" menjadi miskin dan duduk didepan masjid pada hari jumat, atau menjelang buka puasa, mengharapkan amal dari para orang beriman. Memang, menurut ayat, pahala diobral. Lebih murah dari pada midnight sale, lebih heboh dari pada diskon menjelang cuci gudang.
Berkah itu dirasakan juga oleh penjual makanan dan minuman. Makanan apapun ada pada bulan ini. Korma, yang jauh-jauh didatangkan dari Arab sana, laris bak kacang goreng. Padahal untuk kelas yang lumayan, harganya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. Tidak apa-apa. Toh tahun depan kita belum tentu ikut puasa lagi, kilah mereka. Seakan pasrah pada nasib dan takdir Tuhan. Berkilah, dari hal sebenarnya, bahwa mereka itu sebetulnya, lapar dan haus. Lapar mata, karena makanan dan minuman begitu menggoda pada siang hari. Haus akan kenikmatan dunia yang siang tadi ditahan selama lebih dari 14 jam.
Masih belum berakhir berkah nya Ramadhan. Tukang pakaian di pasar-pasar sentral seperti Tanah Abang atau Mangga Dua, juga kebanjiran order. Mereka, yang mengaku dirinya masuk dalam katagori orang beriman, serta merta mengganti mukena dan sarung. Peci dan sajadah yang setiap hari dipakai, pensiun dulu. Ganti dengan yang baru. Hingga nanti, pada malam-malam melaksanakan taraweh, ada bahan obrolan yang kelihatan update. Sajadah saya beli di anu, harganya segitu. Oh, tidak. Itu diskon loh... Dan bla..bla..bla... Dan yang lain, sama juga. Meski tidak dengan gaya yang sama, tapi tipenya tetap tidak bisa dipungkiri. Setali tiga uang. Sama saja.
Ramadhan, menjadikan orang lebih soleh. Lebih santun, dan bisa menjaga amarahnya. Lihat orang dengan wajah-wajah yang dipaksakan tersenyum, meski mulutnya tidak mau terbuka karena bau mulutnya takut tercium. Orang-orang yang menjadi pendiam di kantor, tidak banyak bicara, sehingga ruang kerja jadi lebih sepi, dan memungkinkan lebih berkonsentrasi dengan pekerjaan. Itu juga berkah, buat orang-orang yang mendambakan suasana tenang dalam bekerja. Bukan, bukan saya. Mungkin anda, dan teman anda yang duduk dipojok sana.
Satu bulan, selama 14 jam lebih, kita mengatur dan merubah siklus makan menjadi tebalik. Siang untuk istirahat perut, malam boleh diisi lagi. Kelihatannya memang repot. Namun, dengan panggilan keimanan semuanya akan menjadi mudah. Jadi biasa. Tidak ada yang berat ketika kepatuhan kepada Tuhan, sudah mendasar dalam rongga hati yang beriman. Namun, bagi mereka yang masih dalam tahap menuju kepatuhan, latihannya memang sedikit berat. Kasarnya saja, belajar kalau dimulai waktu kecil, pasti akan mudah diserap otak. Tapi kalau sudah tua baru belajar, jungkir balik rasanya.
Puasa mengajarkan kita untuk bersabar, mengajarkan kita untuk hidup sehat, menghargai rejeki yang kita peroleh dan belajar konsisten.
Konsistensi ini, kemudian menjadi menarik buat saya. Kepatuhan untuk melaksanakan sesuatu dengan tujuan jelas inilah yang membuat menarik. Yang beriman, patuh untuk hanya makan ketika azan magrib terdengar sampai waktu imsak datang. Patuh untuk tidak merokok, tidak makan dan minum, tidak bersenggama disiang hari Ramadhan. Patuh untuk selama satu bulan melaksanakan taraweh, padahal pekerjaan sehari-hari sudah sangat menyiksa banyaknya. Namun, semuanya tetap menjadi sebuah kepatuhan. Dasar ini lah, yang kemudian menjadikan orang "yang beriman" untuk bisa menempatkan dirinya secara wajar. Mengambil keputusan dengan pertimbangan kepatuhan dan penetapan yang baik. Jangan asal ambil keputusan.
Jika mau dikupas, berkahnya tidak akan habis dalam 1-2 SKS. Sekarang bolehlah kita tanya, apakah kita termasuk orang yang mendapatkan "berkah" dalam bentuk keuntungan pribadi dari peristiwa maha hebat bernama Ramadhan? (bmkr 8/09)
"Harus"
Dalam ayat perintah puasa, Tuhan berfirman, Hai orang-orang beriman, DIWAJIBKAN atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Wajib, artinya harus. Sesuatu yang tanpa kompromi dan tanpa pengeculaian harus dilakukan.
Tapi, jika dicermati dalam-dalam, hanya orang yang beriman saja yang diwajibkan. Yang merasa dirinya tidak beriman, silahkan saja untuk tidak berpuasa. Maka jangan heran, pada masa bulan ramadhan pun, warung-warung makan tetap buka tanpa takut "digebuki". Restoran di mal-mal penuh sesak dan harus mengantri pada jam-jam makan siang dan yang datang, banyak juga yang berkerudung atau yang malam tadi kita jumpai di masjid sama-sama taraweh. Macam-macam saja alasannya. Dari yang kecapean karena seharian bekerja, sampai sakit maaq, atau lupa sahur.
Padahal, puasa seharusnya justru menjadi pemacu semangat bekerja, karena mengandung obral murah pahala dihari-harinya. Dan menurut pakar kesehatan, sakit yang berhubungan dengan pencernaan, obatnya, ya puasa. Kalau alasan lupa sahur, atau kesiangan dijadikan alasan, anak kelas lima sekolah dasar patut diacungkan jempol. Karena masih punya motivasi puasa, supaya bisa mendapat hadiah baju baru di hari raya nantinya. Tapi, kalau alasan itu dijadikan bantalan oleh orang-orang dewasa, konyol namanya.
Terus, apa bedanya yang beriman dan yang tidak beriman? Secara fisik mungkin tidak berbeda. Bisa saja sama-sama kecil, sama-sama pendek, sama-sama tinggi, cantik atau jelek, tidak ada pembeda. Yang berdahi hitam atau berdahi klimis juga bukan bedanya. Yang jelas membedakan adalah, apakah dia mau puasa atau tidak. Ya cuma itu. Kan perintahnya memang berpuasa, bukan yang lain. Dan yang dibicarakan juga puasa, bukan yang lain.
Orang yang tepanggil untuk melaksanankannya, boleh jadi sudah beriman. Namun, kadar keimanan juga tidak bisa dipukul sama besar dan sama kecil. Hati, kemudian menjadi tolak ukur yang tidak mudah diukur, dengan mata telanjang, ataupun dengan alat ukur digital. Makin kompleks kelihatannya. Tidak juga, hanya saja, belum waktunya, membahas tentang ukuran iman seseorang. Lha wong, beriman saja belum. Atau nyaris beriman, karena memang terpaksa ketemu Ramadhan.
Bulan Berkah
Bulan puasa, katanya bulan berkah. Semua orang mendapatkan rejeki melimpah pada bulan ini. Pengemis dan fakir miskin jadi tambah banyak. Lihat saja mereka yang "berubah" menjadi miskin dan duduk didepan masjid pada hari jumat, atau menjelang buka puasa, mengharapkan amal dari para orang beriman. Memang, menurut ayat, pahala diobral. Lebih murah dari pada midnight sale, lebih heboh dari pada diskon menjelang cuci gudang.
Berkah itu dirasakan juga oleh penjual makanan dan minuman. Makanan apapun ada pada bulan ini. Korma, yang jauh-jauh didatangkan dari Arab sana, laris bak kacang goreng. Padahal untuk kelas yang lumayan, harganya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. Tidak apa-apa. Toh tahun depan kita belum tentu ikut puasa lagi, kilah mereka. Seakan pasrah pada nasib dan takdir Tuhan. Berkilah, dari hal sebenarnya, bahwa mereka itu sebetulnya, lapar dan haus. Lapar mata, karena makanan dan minuman begitu menggoda pada siang hari. Haus akan kenikmatan dunia yang siang tadi ditahan selama lebih dari 14 jam.
Masih belum berakhir berkah nya Ramadhan. Tukang pakaian di pasar-pasar sentral seperti Tanah Abang atau Mangga Dua, juga kebanjiran order. Mereka, yang mengaku dirinya masuk dalam katagori orang beriman, serta merta mengganti mukena dan sarung. Peci dan sajadah yang setiap hari dipakai, pensiun dulu. Ganti dengan yang baru. Hingga nanti, pada malam-malam melaksanakan taraweh, ada bahan obrolan yang kelihatan update. Sajadah saya beli di anu, harganya segitu. Oh, tidak. Itu diskon loh... Dan bla..bla..bla... Dan yang lain, sama juga. Meski tidak dengan gaya yang sama, tapi tipenya tetap tidak bisa dipungkiri. Setali tiga uang. Sama saja.
Ramadhan, menjadikan orang lebih soleh. Lebih santun, dan bisa menjaga amarahnya. Lihat orang dengan wajah-wajah yang dipaksakan tersenyum, meski mulutnya tidak mau terbuka karena bau mulutnya takut tercium. Orang-orang yang menjadi pendiam di kantor, tidak banyak bicara, sehingga ruang kerja jadi lebih sepi, dan memungkinkan lebih berkonsentrasi dengan pekerjaan. Itu juga berkah, buat orang-orang yang mendambakan suasana tenang dalam bekerja. Bukan, bukan saya. Mungkin anda, dan teman anda yang duduk dipojok sana.
Satu bulan, selama 14 jam lebih, kita mengatur dan merubah siklus makan menjadi tebalik. Siang untuk istirahat perut, malam boleh diisi lagi. Kelihatannya memang repot. Namun, dengan panggilan keimanan semuanya akan menjadi mudah. Jadi biasa. Tidak ada yang berat ketika kepatuhan kepada Tuhan, sudah mendasar dalam rongga hati yang beriman. Namun, bagi mereka yang masih dalam tahap menuju kepatuhan, latihannya memang sedikit berat. Kasarnya saja, belajar kalau dimulai waktu kecil, pasti akan mudah diserap otak. Tapi kalau sudah tua baru belajar, jungkir balik rasanya.
Puasa mengajarkan kita untuk bersabar, mengajarkan kita untuk hidup sehat, menghargai rejeki yang kita peroleh dan belajar konsisten.
Konsistensi ini, kemudian menjadi menarik buat saya. Kepatuhan untuk melaksanakan sesuatu dengan tujuan jelas inilah yang membuat menarik. Yang beriman, patuh untuk hanya makan ketika azan magrib terdengar sampai waktu imsak datang. Patuh untuk tidak merokok, tidak makan dan minum, tidak bersenggama disiang hari Ramadhan. Patuh untuk selama satu bulan melaksanakan taraweh, padahal pekerjaan sehari-hari sudah sangat menyiksa banyaknya. Namun, semuanya tetap menjadi sebuah kepatuhan. Dasar ini lah, yang kemudian menjadikan orang "yang beriman" untuk bisa menempatkan dirinya secara wajar. Mengambil keputusan dengan pertimbangan kepatuhan dan penetapan yang baik. Jangan asal ambil keputusan.
Jika mau dikupas, berkahnya tidak akan habis dalam 1-2 SKS. Sekarang bolehlah kita tanya, apakah kita termasuk orang yang mendapatkan "berkah" dalam bentuk keuntungan pribadi dari peristiwa maha hebat bernama Ramadhan? (bmkr 8/09)
Comments
Post a Comment