Skip to main content

Lelaki dan Televisi bulan Ramadhan


Masih seputaran ramadhan, ada hal lain yang membuat kita seakan bisa meninggalkan ibadah demi sebuah kenikmatan.

Setan memang tidak pernah putus asa membeberkan kenikmatan dunia di depan mata kita. Hingga kadang kita lupa akan kaidah dan kepentingan apa dibalik missi mereka. Dogma yang sudah di kantongi oleh masyarakat adalah, dibelenggunya setan-setan pada masa Ramadhan. Benarkah? Lalu kenapa kejahatan dan tindakan yang "pada masa sebelum ramadhan" merupakan tindakan setan, bulan ini masih terjadi? Apakah, yang kemudian berperan bukan setan? Atau setan apa yang sanggup keluar dari belenggu Ramadhan?

Setan dalam arti harfiah, mungkin sulit didefinisi secara jelas. Yang kita terjemahkan adalah, setan itu seperti suster ngesot atau simanis jembatan ancol. Kuntilanak atau hantu jeruk purut. Itulah setan. Tidak pernah terdengar bahwa setan mengacu kepada mahluk hidup berprilaku bajingan, jahat dan sangat memuakkan.

Pada bulan puasa, televisi membentengi ruang siar mereka dengan sederet program yang kelihatannya sangat islami. Para pemandu acaranya berkerudung, sahur dan buka puasa ditemani, atau bahkan bisa sampai 24 jam nonstop dengan acara-acara yang menawan. Film, sinetron, musik bahkan kuis dan bagi-bagi hadiah uang, dengan hanya cukup menekan sederet angka nomor telephon dan jadilah kalian jutawan yang siap menghadapi lebaran dengan kantong tebal. Atau minimal sumringah.

Namun dibalik semuanya itu, ada hal yang kelewat kecil dan di acuhkan. Tayangan-tayangan ber"rating" tinggi justru diputar pada masa-masa "rawan". Masa-masa orang seharus nya beribadah, jam sholat ashar. Walah... Lalu, kemudian dengan pembenaran yang sangat permisif dia berkilah, cape pulang kerja. Padahal, syiar dari ramadhan salah satunya adalah taraweh.

Lihat saja para artis yang tampil dalam acara gosip-gossip tiap hari ditelevisi. Semuanya nampak bagai malaikat. Kerudung melingkar di kepala. Baju koko jadi trend sehari-hari. Ucapan para artis, jadi tidak jauh beda dengan ustadz yang setiap hari ceramah di tivi menjelang subuh tanpa ada yang menonton. Ini namanya penipuan publik. Penipuan karakter. Namun, setidaknya mereka mau berubah, meski hanya satu bulan. Apa kita juga berubah?

Game Online
Yang mengkhawatirkan juga salah satunya game online yang dengan mudah diakses oleh anak-anak dan remaja. Istilah remaja masjid makin lama-makin surut berganti dengan istilah remaja gaul atau anak online. Hampir bisa dipastikan, setiap warnet penyedia layanan game online selalu penuh. Lebih-lebih dibulan puasa. Mereka bisa berjam-jam menghabiskan waktu untuk berbuka puasa di depan layanan game. Mudah saja bagi para pemilik warung internet menawarkan paket-paket yang menggiurkan. Main 4 jam geratis satu jam. Dan lebih lagi, iming-iming hadiah yang menggiurkan jika menang. Ramadhan jadi bulan dengan iming-iming ganda. Pahala dan juga kepuasan game online.

Istilah ngabuburit kemudian menjadi populer. Kegiatan yang dahulu, berisi pengajian tadarus, pesantren kilat dan pelajaran agama sekarang berganti dengan musik, mall, dan game. Kata ngabuburit sendiri, bisa jadi bergeser jauh artinya. Segala jenis kegiatan untuk menunggu waktu berbuka puasa, sekarang disebut dengan istilah itu. Jangan salah, itu tradisi yang hanya di Indonesia. Bangga? Boleh lah..

Lebih jauh, esensi kebesaran Ramadhan menjadi hilang begitu saja. Dulu, kuduk rasanya merinding membayangkan kenikmatan yang tersedia pada masa bulan puasa. Pahala diobral murah meriah. Media tidak memombardir otak dengan tayangan penuh gossip dan mimpi. Ajaran kiayi yang disiarkan di televisi menjadi daya tarik, sehingga game dan nongkrong-nongkrong menjadi norak. Menjadi tidak populer.

Apakah kita berubah?(bmkr 8/09)
photo by http://garasigokil.files.wordpress.com/2009/03/gamer_01.jpg http://media.vivanews.com/thumbs/63842_anak_nonton_tv_thumb_300_225.jpg

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny