Klaim kebudayaan Indonesia atas negara lain, belakangan kembali marak dibahas orang. Hampir semua media cetak dan elektronik mengupas habis tentang apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi dinegara kita. Tak tanggung-tanggung, ada 32 jenis budaya, berupa tarian, kuliner, desain barang bahkan sampai ke ulos di claim menjadi hak dan beberapa dipatenkan oleh negara lain.
Masih ingat tentang kasus Sipadan dan Ligitan? Masih ingat tentang status kepemilikan blok Ambalat? Atau masih ingat tentang tempe dan jahe yang di patenkan Jepang dan Amerika Serikat?
Lalu bagaimana seharusnya sikap kita sebagai bangsa yang merasa mempunyai dan memiliki akar budaya yang mereka claim sebagai milik mereka tersebut? Kita boleh marah, boleh benci, boleh mencaci maki, boikot dan atau semacamnya. Namun, coba telaah lebih rinci dan lebih dalam, kenapa hal itu bisa terjadi. Jangan hanya main ikut saja. Jangan cuman marah.
Ibaratkan, Indonesia adalah juragan yang mempunyai harta banyak sekali. Saudagar yang kekayaannya terserak dari ujung halaman belakang yang berbatasan dengan halaman tetangga, sampai kedepan rumah yang berbatasan dengan jalan yang merupakan milik bersama, milik orang banyak, milik internasional. Kekayaan kita sebegitu melimpah. Pohon buah-buahan tersebar dihalaman, rumputan, tanaman obat, emas permata, dan masih banyak lagi. Kita mempekerjakan banyak orang untuk menjaga jangan sampai rumah kita dimaling. Jangan sampai harta kita diambil orang. Maka penjagaan ekstra ketat kita lakukan didalam dan diluar pagar wilayah kita. Biar aman.
Si saudagar, manggut-manggut dirumah saja. Diatas kursi emas dan disuguhi hasil bumi yang melimpah ruah. Buat dia semuanya lebih dari cukup. Toh, semua hal bisa dia dapat dengan mudah. Kalau punya banyak harta, untuk apa lagi kerja. Buat apa repot-repot mengurus tetek bengek nya sendiri. Tinggal suruh orang, beres. Padahal bisa jadi, orang itu culas juga. Cuma mau mengambil keuntungan dari harta si juragan.
Dan si juragan besar, karena terlalu banyak mempunyai harta, jadi lupa. dan tidak tahu mana-mana saja yang dia punya. Toh tidak ada lebel atau merk yang menandakan bahwa barang tersebut miliknya. Nah, yang maling bisa leluasa, kemudian di sertifikat, jadilah barang yang dia curi itu miliknya. Kemudian sang Juragan baru tahu kalau barang yang dia punya, dicuri dan dipatenkan tetangganya, justru dari orang lain. Dari pembantunya. Dari tukang cukurnya.
Ilustrasi sederhananya kira-kira begitu. Tindakan reaktif ketika tahu bahwa kebudayaan kita dicuri orang, rasanya menohok sekali. Nasionalisme kita tumbuh dengan kuat. Rasa benci terhadap negara dan oknum maling kita menjadi membumbung tinggi. Protes bisa jadi kanan kiri diluncurkan.
Saya tidak tahu, apakah pendataan terhadap makanan, budaya, desain dan yang lain-lain itu sudah dilakukan pemerintah kita. Karena memang, setahu saya, pelajaran disekolahlah, yang memberitahu saya bahwa, tari jaipongan itu dari jawa barat, pendet dari bali dan lain-lain. Namun, bukti pengesahan atau legalitas nya sendiri belum saya tahu. Jika memang belum ada tindakan legalitas dan diperlukan menurut kesepakatan internasional, menjadi PR buat bangsa Indonesia untuk memulai upaya pendataan semua unsur budaya termasuk kuliner dan segalanya yang merupakan milik Indonesia.
Tindakan marah dan reaktif, seharus nya dijadikan juga tindakan berkaca, apakah memang kita sudah menghargai budaya kita, seperti para maling itu menghargainya. Meski maling-tetap maling, namun setidaknya kita berterima kaasih, karena diingatkan, bahwa dia lebih mencintai yang dia curi dari kita, ketimbang kita yang punya tetapi menelantarkan begitu saja hal-hal yang paling berharga.
Kehilangan akan membuat kita merasa memiliki. (bmkr 8/09)
Comments
Post a Comment