Skip to main content

Lelaki untuk Menyenangkan Semua Orang


Sebuah acara besar baru saja di gelar. Perhelatan yang menurut sebagian orang sangat mempesona. Bukan dari apa yang terjadi, kemasan dan yang lainnya juga menarik, menurut mereka. Partisipan yang berasal dari seluruh nusantara berbaur dalam satu kegiatan besar itu, mendirikan tenda-tenda berwarna-warni dan bersama-sama membakar semangat mengalahkan dingin menusuk kawasan tempat berlangsung acara.

Agustus, memang menjadi bulan yang sangat dingin. Setidaknya dalam sebuah kawasan pegunungan di Bandung Selatan.

Satu-dua hari, tanggapan dan pandangan partisipan acara mulai berdatangan. Media email terlihat begitu kompak dan antusias menampung segala keluh dan pujian. Rata-rata, semuanya mengatakan bagus, kapan digelar lagi, heboh dan semacamnya. Celanya belum ada. Semua senang dengan persembahan pembuat acara. Menjadi besar kepala kah kemudian mereka? Entahlah, namun balasan email-email itu ditanggapi dengan bahasa standard yang terkesan dipaksakan dan terlalu berbasa-basi.

Hingga, sebuah email dahsyat masuk. Shok terapi terjadi dengan stimulasi yang tepat. Ditengah euforia kegiatan yang hampir melupakan kritik dan asupan bergizi, ini menjadi therapy yang ampuh.

Cara pandang orang memang kadang membuat kita tidak siap dan hiper reaktif. Semuanya terdiam. Email yang dikirim ke banyak orang itu, kemudian tanpa ampun tidak digubris. Hanya ada beberapa vokalis yang menjawab dan meng"amin"i tulisan-tulisan tersebut. Panitia yang lamban, panitia yang tidak berbaur, konsep acara yang tidak jelas, mendompleng ketenaran acara TV, sampai masalah nara sumber, semua dikritisi. Tajam, dan langsung kesasaran.

Lalu apa pembelaan nya?
Apakah ini bisa ditolerir?

Jangan ada pembelaan seharusnya. Karena akan sangat subjektif nanti. Pernah dengar sebuah semboyan, "tak bisa menyenangkan semua orang, tapi minimal zero complain". Sempurna bukan? Tentu saja, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Tingkatan rasa senang pada masing-masing individu berbeda-beda levelnya. Ada yang rendah, menengah dan tinggi. Yang mempunyai sense of joy pada tinggat rendah, akan lebih mudah menerima hal-hal kecil sebagai kesenangan. Tapi pada tinggatan paling tinggi, bisa jadi dia akan sisis dan tidak bisa menerima.

Apakah kemudian pernyataan-pernyataan tersebut bisa ditolerir, itu yang jadi persoalan. Menurut saya, sangat bisa. Kebebasan untuk menentukan pendapat dan bersuara, bahkan sudah diatur dalam undang-undang. Seharusnya juga, itu menjadi sebuah asupan gizi dari sebuah penyelenggaraan kegiatan besar yang melibatkan orang banyak.

Namun, ekspektasi berlebihan sipenulis kritik itu, juga perlu diluruskan. Penyelenggara yang terkesan kurang ramah dan tidak membaur, sangat "ngambang". Mungkin cuma dia yang merasa tidak disapa. Atau waktu ada penyelenggara yang keliaran ke partisipan, dia sedang tidak ada. Jadilah tidak tersapa. Itu bukan hal besar.

Namun tetap saja, sebuah kegiatan selalu menuai senang dan kecewa. Seperti juga cinta yang selalu berujung kepada dua hal tersebut. Menjalankan kegiatan dengan cinta, akan mendatangkan imbas senang dan kecewa dalam dua tingkatan. Senang kwadrat dan kecewa kwadrat. Kwadrat karena kegiatan sendiri sudah akan menuai senang atau kecewa, dan cinta sendiri sudah akan menuai yang sama.

Tetap berbuat..! (bmkr 8/09)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny