Skip to main content

Lelaki dan Pikiran


Semula, aku berfikir bahwa kehidupan itu, merupakan pemberian dari Tuhan yang cuma-cuma diberikan kepada setiap benda. Entah itu batu, tiang listrik, laut, gunung dan bukit atau apapun. Hewan, tumbuhan, manusia, sampai dengan mahluk tanpa jenis dan bentuk. Diberi hidup, di beri nafas, dan di beri kesempatan merasakan panas matahari dan dingin kabut embun.

Semula, aku berfikir bahwa kehidupan itu berbuat baik sebanyak-banyaknya. Tanpa harus berhitung untung dan rugi. Tanpa harus mempertanyakan kan pamrih akan kembali. Hanya memberi dan tersenyum kepada semua orang, untuk kemudian "dia" si penerima, tersenyum manis kepada kita dan berucap "kembali" dengan nada yang berlebihan. Nada yang kadang, jika kita dengar lebih seperti anjing menggonggong kepada majikannya minta kawin.

Lalu, posisi kehidupan kemudian berubah dalam transformasi pandanganku. Kehidupan itu, bejat. Kehidupan itu sama parah bahkan lebih buruk dari dibanding dengan neraka. Kamu tahu apa itu "neraka"?
Baca kitab suci mu, dan cari tahu apa itu neraka, Hell, atau apalah yang orang sebut tentang itu.
Disana, siksaan sudah jelas menanti orang-orang bersalah. Jika kamu salah "a" maka hukuman mu akan "aa". Jika salahmu adalah "b" maka hukumanmu akan "bb". Jelas.
Hingga, kamu boleh berprediksi dari sekarang, dan merencanakan, kesalahan apa yang akan saya buat disini, dikehidupan ini, dan saya mampu tanggung nerakanya kelak. Jangan asal saja. Sebab, prinsip besar pasak dari pada tiang masih berlaku. Jangan sampai, kamu berbuat kesalahan model "a" disini, kamu mengharap model "-a" disana. Ya nggak konsekwen.

Yang kita lihat kemudian adalah, manusia itu sendiri yang merubah prinsip dasar hidup. Menciptakan buku teori-teori yang membuat pembaca berbondong-bondong membelunya. Contoh kecil saja, ketika seorang penulis membuat buku "bapak kaya anak sengsara"... pembeli langsung memborong nya. Atau ketika buku tentang "10 cara menjadi kaya dengan modal dengkul" terbit, semua orang membeli juga. Meskipun pada kenyataanya, miskin masih saja menjadi miskin meski teorinya sudah berulangkali dipraktekkan. Dan kalau sipenulis itu di tanya, kenapa tidak berhasil, dia cuma menjawab singkat, "belum hoki"...

Menjadi orang baik saja belum cukup... justru menjadi orang jahat yang cukup. Cukup makan, cukup jalan-jalan, cukup membeli mobil, cukup rumah, dan cukup sering naik haji. Loh, kenapa naik haji? Kan memang tidak ada larangan orang jahat naik haji, toh? Mekah tebuka kepada siapa saja. Tidak akan pernah ditanya dibandara, apa kamu jahat atau baik, kamu muslim atau bukan. Kalau pada musim haji berada di bandara di Mekah, dengan kopor besar, pakaian putih dan paspor menggantung di leher, sudah dipastikan akan disambut sebagai tamu Tuhan.

Tidak ada pembeda yang jahat dan baik. Pakaian sama putih. Bibir sama komat-kamit. Meskipun yang satu melantunkan doa-doa dalam komat kamit nya, dan yang lain mengikuti nyanyian Michael Jackson yang didengar di earphone. Tidak nampak bedanya.

Menjadi baik itu, bukan seperti Robin Hood, bukan Seperti Zorro. Merampok dan membagikan kepada fakir miskin. Merampok, dengan tujuan apapun, tetap merampok. Dan salah. Dan beramal, dengan hasil rampokan, belum tentu baik. (bmkr19/8)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny