Skip to main content

Lelaki dan Hasrat Hidup Bahagia


Hidup bahagia, pastilah menjadi impian setiap orang. Meski kebahagian itu selalu identik dengan uang, harta kekayaan dan pekerjaan mapan. Setidaknya, banyak stigma manusia terkungkung kepada pendapat serupa itu. Absurd betul, ketika semuanya menjadi barometer. Karena, bisa saja si "miskin" lebih bahagia dari pada si "kaya". Bagaimana indikasinya? Kenapa ada pikiran semacam itu, tiba-tiba muncul. Apa lebih kepada penghiburan hati Lelaki saja?

Lelaki, pernah berfikir untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Bekerja tanpa kenal lelah, hantam kanan dan kiri tanpa peduli apa ada orang-orang tersakiti. Hajar saja. Selama ada rupiah mengalir kedalam dompet, kenapa harus memperdulikan orang lain. Yang dilihat masyarakat banyak itu kan, kalau Lelaki sudah punya motor baru, sudah pakai handphone merek paling populer, melihat Lelaki tiap hari jajan di warung nya pak RT yang menjual aneka rupa makanan lauk untuk makan, atau membelikan ponakan-ponakan hadiah-hadiah karena naik kelas atau ulang tahun. Khalayak, menafsirkan kesuksesan ya segitu itu. Atau kalau mau muluk-muluk, punya mobil, punya rumah bagus, bisa naik haji berkali-kali. Lha, itu baru sukses. Dan pastinya hidup bahagia. Pikiran khalayak, lho yah. Bukan Lelaki yang berfikir begitu.

Yang itu, baru dari sisi uang dan harta kekayaan nya. Belum lagi kalau membahas dari sisi pekerjaan dan kemapanan ekonomi. Konon, kalau sudah dua hal ini mengemuka, orang pasti akan sukses dan bahagia.
Betul?

Suatu hari, Lelaki bertemu dengan sebuah keluarga yang nampaknya harmonis sekali. Tawa canda riuh rendah di taman monas yang adem. Ada tikar digelar disana, ada rantang berisi makan siang yang sedang dibagikan. Si Bapak, pria berusia paruh baya, hampir lima puluh mungkin, berambut agak putih dan berpakaian sangat sederhana. Si Ibu, perempuan dengan kerudung lusuh dan senyum lembut sekali. Anaknya, empat orang. Yang paling tua, sudah kelas 2 SMU, pria pemalu yang sesekali meledek adik-adiknya. Dan yang bungsu, berusia tiga tahun. Dua yang lain, masih bersekolah di SD dan SMP. Wah, pengaturan yang tepat, batin Lelaki.

Karena mereka menawarkan, jadilah Lelaki mampir juga, dan berbincang-bincang dengan mereka. Ternyata si Bapak, kerja sebagai buruh bangunan di sebuah proyek pembuatan gedung, di Jakarta. Penghasilannya, "cukup" begitu kata si Bapak. Tanpa berani lebih dalam mengorek nominal nya. Dan si Ibu, membantu di rumah besar, milik seorang pemain sinetron, dekat rumah mereka. Kerjanya, mencuci pakaian dan nyapu ngepel. Pagi hari saja, dan siang hari, Ibu pulang ke rumah untuk menyiapkan makanan buat si Bapak. Kenapa? Seperti cerita di sinetron yah? Tapi memang begitu keadaannya. Dan sewaktu Lelaki bergabung dengan mereka, menikmati makan siang di taman Monas, siang itu, menunya sangat sederhana. Nasi putih yang tidak putih, tempe orek, telur dadar dan sayur lodeh. Mereka menikmati makan siang dengan lahap. Kata si Abang, si Pria kelas 2 SMU, ini sama dengan pindah makan. Tapi kata si Bapak, ini adalah piknik keluarga. Maklum, si Abang itu ABG yang sedang gaul-gaulnya. Namun, dia tetap ikutan "piknik" hari itu.

Sekarang, silahkan tebak. Apa keluarga ini bahagia. Kalau dari segi uang, jelas mereka warga kelas bawah, yang mungkin penghasilan nya tidak cukup untuk membeli dompet Luis Viton, atau untuk membeli parfum Bvulgari.
Kalau melihat makanan yang mereka bawa itu, jelas, jauh dari standar nya Sapo Oriental atau dari restoran sekelas lainya. Bukan mereka tidak mampu. Namun, mungkin mereka belum perlu untuk makan dan beli semua itu.

Lalu, baru-baru ini, kasus demi kasus penjara silih berganti bergema. Para pejabat dan orang-orang terkenal, hilir mudik masuk media pemberitaan karena penipuan, korupsi dan lain-lain. Lha, mereka bukannya banyak uang. Yang pikniknya saja, ke Eropa, Amerika. Mau belanja saja ke Singapura. Uang banyak. Mobil mentereng. Pakaian kinclong. Kenapa kemudian mereka terlibat perselingkuhan, menipu rekan bisnisnya, dan lain-lain. Apa mereka kurang bahagia dengan apa yang mereka punya? Lha, bukannya indikasi kebahagiaan mereka sudah lengkap?

Setiap manusia, tentu saja mendambakan hidup dengan kemudahan-kemudahan. Namun, tentu saja hal itu tidak serta merta menjadi standard dari sebuah kebahagiaan. Punya uang seribu rupiah saja, banyak orang yang senang setengah mati. Namun, punya dua juta rupiah, banyak yang bilang kurang. Mengukur kebahagian dari segi materi saja, mungkin belum mawakili untuk dijadikan indikasi kebahagiaan.

Hasrat untuk hidup dengan ketenangan sudah menjadi naluri yang dibawa dari lahir oleh setiap insan dunia. Jangan kan hanya manusia, binatang sekalipun, sama saja. Mencari ketenangan dengan cara mereka sendiri. Lelaki berfikir, apakah ketenangan batin dan fikiran ini yang menjadi akar kebahagiaan diri? (bmkr 0710)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny