Skip to main content

Lelaki : Pulau Perak, Surga Tersembunyi Di Laut Jakarta

Pulau Perak,

Surga Tersembunyi Di Laut Jakarta

Laut memang bukan dunia saya. Selogan Nenek Moyangku orang Pelaut, hanya menjadi nyanyian kala gundah dating, atau saat iseng sudah tidak ada playlist yang harus dinyanyikan. Buat saya, ketakutan terhadap air banyak, seperti ketakutan saya dulu terhadap ular. Kini, ular sudah bukan menjadi persoalan lagi, sedikit-sedikit, sudah bisa dihilangkan dalam benak phobia saya.


Tapi air, selautan, wah.. itu ancaman terbesar diotak saya. Membayangkan tubuh terhempas dalam kubangan besar bernama samudra, membuat saya bergidik. Meski saya menikmati betul film-film bawah laut. Membaca DiveMag setiap bulan dikantor, serta berteman dengan kawan-kawan diver, namun itu tidak menjadi jaminan saya bisa survive sendirian dilaut. Kalau disuruh memilih, biarkan saya menjadi dingin digunung, atau terhempas dibebatuan dengan debu-debu kemarau di pegunungan, ketimbang harus bersukaria dengan air asin yang melahap badan seperti mulut monster besar yang siap menelan.


Saya suka laut. Memandanginya dari garis pantai, menyaksikan biru yang membentur cakrawala, dan senjahari yang menawan memantulkan sinarnya dipermukaan buih-buih yang teratur mencapai pantai.


Senang betul saya bermain diputih nya pasir pantai, atau sesekali memunguti karang-karang yang terhempas kepesisir, dan kerang-kerang mati yang tinggal sebelah.


Tapi, hanya sebatas itu. Pengarungan laut pertama saya, antara bali dan Lombok saya lewati dengan berdiam diri dalam kapal, menekuk lutut dan tak henti-henti komat-kamit membaca doa selamat. Empat jam yang sangat menyiksa, waktu itu, saya lewati. Dan betapa hati saya bersorak bahagia, ketika kemudian kapal merapat ke pelabuhan Lembar dan saya menginjak bumi. Saya hidup, itu kata-kata saya yang pertama terlontar dari mulut.


Seperti halnya dengan ular, saya tidak mau terus menerus hidup dalam kungkungan rasa takut terhadap air. Makanya, ketika beberapa kawan menawarkan untuk menjelajah pulau seribu, menuju Pulau Perak, saya memutuskan ikut serta. Saya harus mencari tahu letak ketakukan saya. Tidak mungkin memang melawan rasa itu, tapi minimal saya tahu letaknya, kemudian saya hilangkan. Seperti balsem yang dioleskan ke otot yang nyeri. Kadang, kita malah bingung bagian mana yang sakit, sehingga membabi buta mengoleskan balsem diseluruh permukaan kulit. Hasilnya. Sakitnya tetap ada dan gosong disekujur badan.


Pelabuhan Angke

Hari masih pagi betul. Libur empat hari karena adanya cuti bersama dihari Jumat, membuat pelabuhan ini menjadi semakin ramai. Potret masyarakat pesisir pantai yang mencari ikan sebagai nafkah, berbaur dengan amis yang tercium dari jarak ratusan meter. Teriakan-teriakan khas pelabuhan membahana, seperti orkestra yang dikasetkan dan mulai usang dimakan waktu. Taksi kami, membelah jalanan padat penuh orang. Bahkan dari dalam mobil, bau ambis menembus. Menelusup disela-sela jendela dan kaca mobil yang menyisakan renggang sepersekian centimeter.


Pelabuhan Muara Angke, menjadi terminal untuk menuju pulau-pulau lain di hamparan kepulauan seribu, Jakarta. Dari sini, kita bisa naik perahu-perahu yang memang tersedia. Seperti layaknya terminal. Semua jurusan ada disini. Lebih-lebih untuk pulau-pulau yang mempunyai penduduk atau menjadi objek wisata andalan. Sebut saja, Tidung, yang hari itu, dibanjiri pengunjung. Yang terfikir oleh saya kala itu adalah, seberapa banyak sampah yang akan dihasilkan oleh para pendatang yang memang rata-rata tidak tarlalu peduli dengan hal itu.


Pulau Untung Jawa, Bidadari, Pulau Putri, dan masih banyak lagi yang menjadi favorite masyarakat Jakarta. Soal biaya, jangan tanya. Murah betul. Untuk sekali penyebrangan ke Pulau Kelapa, seperti yang kami lakukan, dengan durasi empat jam perjalanan, hanya tiga puluh lima ribu rupiah saja. Bayangkan, dengan uang Rp. 35.000,- kita sudah bepergian menikmati panorama laut yang menakjubkan selama 4 jam.


Kapal kami, yang saya lupa namanya, adalah kapal angkutan dengan dua lantai. lantai bawah, mempunyai tinggi hampir dua meter, sedangkan lantai atas, hanya setinggi satu meter saja. Jadi bayangkan, selama perjalanan, kami harus duduk manis, tanpa bisa berdiri. Sementara sirkulasi udara hanya ada dikedepan menuju dok, dan kebelakang saja. Semua tertutup. Bayangkan saja selongsong korek api kayu, ketika kita pisah dua. Nah, seperti itulah kapal bagian atasnya. Hanya saja, ada ruang kosong juga di bagian depan dan belakang.


Kapal sudah penuh, saatnya berangkat. Sudah jam tujuh pagi. Saatnya berangkat. Saya sudah mengambil pelampung dan memakainya dari pertama masuk ke kapal. Norak? Mungkin. Namun saya fikir, inilah bentuk proteksi saya pertama kali. Dan disinilah saya belajar untuk menghargai nyawa saya yang hanya satu diberi Tuhan.


Baru lima menit bergerak meninggalkan pelabuhan Angke, kapal distop oleh petugas. Razia, pikir saya. Dan ternyata betul, kapal dikembalikan ke dermaga Agnke, karena separuh penumpangnya tidak mengenakan pelampung.

“Dilaut, kalian mati. Tidak ada yang hidup dilaut” suara dari kapal patroli membuncah dipagi itu.


Dan kapal perlahan-lahan kembali ke dermaga. Separuh dari penumpang yang tidak mengenakan jaket keselamatan, diperintahkan turun dari kapal dan dibagi ke kapal selanjutnya.


Musim liburan begini, ketika jumlah penumpang mencapai puncak tertinggi, para juragan kapal sepertinya ingin menuai untung yang besar. Hingga, mereka melupakan keselamatan awak kapal dan penumpangnya. Bayangkan saja, did ok atas, yang berisi lebih seratus orang, hanya ¾ saja yang menggunakan pelampung. Sisanya, mereka bahkan lupa, bahawa nyawa mereka sendiri terancam karena perilaku mereka, dan tidak semata-mata salah sang juragan kapal..

---


Kampung di Tengah Laut Jawa

Lautan biru membentang selebar mata memandang. Perahu terombang ambing ombak. Oleng ke kanan dan ke kiri. Beberapa orang penumpang sibuk bercengkrama, tertawa lepas seolah tiada takut sama sekali. Diluar, langit menampakkan biru yang tidak mau kalah dengan air samudra.


“Nikmat mana lagi yang kau dustakan”


Begitu terjemahan kitab suci yang selalu saya ingat. Betul. Ternyata laut menawarkan panorama yang memukau. Biru gelap, berbatas-batas dengan toska yang mempesona. Ini kenikmatan mata yang tidak pernah terbayang sebelumnya bukan.


Empat jam lamanya, kapal kami terombang-ambing dimainkan ombak dilaut lepas. Dari balik celah buritan yang terbuka, pulau-pulau berserak membentuk rantai yang cantik. Pasir-pasir putih mengepung digaris pantai, dan warna laut menjadi hijau toska yang elok. Melingkar mengelilingi daratan yang ditumbuhi cemara dan kelapa yang menjulang menembus cakrawala.


Selat-selat antar pulau ini, seperti layaknya jalan raya didaratan. Mondar-mandir kapal penumpang dan perahu nelayan memecah ombak. Deru mesin kapal membaur dengan debur ombak dan desau angin.


Kapal merapat didermaga pulau Kelapa. Pulau dengan populasi penduduk yang lumayan padat. Dari survey Penduduk tahun 2010, penduduk Kepulauan Seribu mencapai 21.071 orang*. Dengan penyebaran pemukiman terdapat di 11 pulau dari 110 jumlah pulau yang terdapat disana. Pulau-pulau terpadat itu antara lain, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Sebira, Pulau Panggang< Pulau pramuka, Pulau Lancang, Pulau Pari,,Pulau Tidung, Pulau Dayung dan Pulau Untung Jawa.**


Tak heran, jika penduduk di pulau Kelapa ini, padat betul nampaknya. Setidaknya, gambaran pelabuhan kecil ditengah laut jawa jelas terpampang. Beberapa tukang becak antri mencari penumpang. Dan kesibukan dipelabuhan kecil itu, semakin ramai ketika kapal-kapal dari pulau-pulau sekitar merapat. Mengantar barang kebutuhan sehari-hari, dagangan. Atau sanak famili yang berkunjung dating di hari libur.


Wajah-wajah bersahabat itu membaur dengan panas terik matahari. Membiarkan tubuh terbakar dalam panas yang terasa sampai ke ubun-ubun. Jika di dermaga Angke, air laut keruh hitam dan berbau amis tajam, disini, lihatlah, bahkan saya bisa menyaksikan dasar lautan dengan ikan-ikan kecil berlari ceria menyambut kapal kami yang pelan-pelan bersandar. Atau mereka memang sengaja menunggu saya dan mengucapkan salam perkelanan? Ah, mungkin bukan kedua-duanya. Namun panorama alam ini memang menakjubkan, dimata saya.


Keluar pelabuhan kecil didermaga pulau kelapa, kami harus berjalan menyusuri jalanan desa berkonblok yang rapih dan bersih. Menuju pulau Harapan. Dua pulau ini memang menyatu dengan sebuah jalan buatan. Karena jaraknya yang dekat. Konon, dulunya dua pulau ini terpisah. Kemudian pemerintah membuat jalan darat dan menyatukan dua pulau tersebut.


Rumah-rumah permanen dengan jalanan hanya selebar satu meter, mengingatkan saya ketika menyusuri sebuah kampung adat di Sulawesi. Bahkan disini, mobil mustahil ada. Hanya kendaraan bermotor roda dua yang ramai lalu lalang. Dilingkungan kecil yang hanya menempuh kurang setengah hari berkeliling, nampaknya memang tidak diperlukan angkuan mobil.


Pak Haji, yang sudah dikontak teman-teman Brownies Adventure, sang penyelenggara perjalanan hari ini, sebenarnya sudah menunggu kami di dermaga Pulau Kelapa. Namun saya luput berkenalan disana. Baru ketika kami bertandang kerumahnya untuk makan siang, secara langsung saya berkenalan dengan beliau. Orang nya ramah betul.


“Jika siang, listrik didesa ini mati,” kata beliau, kepada teman seperjalanan saya yang menanyakan kemungkinan untuk mengisi ulang batre handphonenya. Saya baru tau, kalau ternyata listrik disini, dinyalakan pada malam hari saja, dan atau bergiliran pada siang hari. Bahkan di Jakarta, mereka masih merasakan keterbatasan asupan energi listrik. Sedang di Ibukota sana, yang jaraknya hanya beberapa mil saja, listrik tumpah ruah disetiap gedung yang AC nya tidak boleh mati. Atau lampu-lampu penghias jalanan yang kerlap-kerlip warna-warni. Ironis betul kan?


Dulu, ketika di Sekolah Dasar, saya selalu diberi tahu oleh guru saya, bahwa Negara kita yang terdiri dari ribuan pulau ini, dihubungkan oleh lautan. Laut bukan menjadi pemisah, tapi pemersatu. Namun, ketika kehidupan itu saya lihat sekarang, nampaknya laut tetap menjadi laut yang memisah sekaligus menghubungkan. Entahlah.


Menuju Pulau Tak Berpenghuni, Perak

Udara panas sekali di sabtu siang itu. Dan rombongan kami yang terpecah dua, kemudian berkumpul lewat tengah hari dirumah pak Haji. Ketika semua hal siap, kami berganti perahu yang lebih kecil menuju pulau perak. Dengan jumlah rombongan yang mencapai 32 orang, perahu dibagi dua. Kali ini, teman-teman penyelenggara tidak mau kecolongan. Pelampung dibagikan ketika kami masih didermaga.


Coba tengok dulu sejenak di dermaga Pulau Harapan ini. Nampak baru betul bangunan disepanjang dermaga. Nampaknya, pemerintah sudah mulai bersiap-siap untuk memajukan sector pariwisata di Kepulauan Seribu. Rapi dan masih baru. Itu kesan yang pertama kali terlintas dikepala ketika menginjakkan kaki di dermaga ini.


Tapi jangan senang dulu, coba tengok jauh-jauh kedepan. Gugusan pulau-pulau mulai nampak menggoda. Nyiur yang kelihatan kecil sekali melenggang lenggok dipermainkan angin siang yang panas. Di dermaga ini, birunya air laut membentur tembok buatan, tempat para ikan kecil dan kepiting berkejaran dengan lincah.


Dua kapal kecil itu, bergerak perlahan. Bunyi mesin perahu nyaring, menelan suara kami yang sibuk bercakap dan mengagumi ciptaan Tuhan. Semua mata menatap lekat-lekat ke pulau-pulau yang terserak didepan sana.

“ Pulau yang itu, punya Keluarga nya Pak Harto, “ kata juru mudi perahu kami, seraya menunjukkan sebuah pulau berpasir putih yang elok. “ dari luar,kayak nggak ada apa-apanya, kan? Tapi didalam, waah… “ lanjutnya lagi.


Saya mengartikan, “wahh” yang diucapkannya dengan sejuta pertanyaan. Apakah itu bagus, bagus sekali, mewah, atau luar bisa. Namun, menilik siapa pemiliknya, saya tidak begitu heran.


Jika mau punya pulau, siapkan uang yang banyak. Dan belilah. Di Indonesia, penjualan pulau-pulau sering terjadi bukan? Dari hasil obrol-obrol dengan pengemudi kapal kecil kami, banyak pulau-pulau disini sudah menjadi pulau pribadi. Pengusaha anu, anak nya presiden itu, pesohor anu, dan banyak lagi. Dan penduduk lokal, hanya tetap menjadi masyarakat kelas dua, bahkan ditanah kelahiran mereka sendiri.


Satu jam lamanya perahu kecil kami membelah ombak lautan sore yang mulai meninggi. Hingga, kami tiba disebuah pulau kecil berpasir putih dengan dermaga kecil. Inilah pulau Perak itu. Pulau tujuan kami.


Pulau seluas +- 16 hektar itu, tidak berpenghuni. Namun, ada dua penjaga pulau yang memang tinggal disana. Perahu kami merapat sebentar, menurunkan barang-barang, kemudian melanjutan perjalanan menuju spot snorkeling. Perjalanan ini, kami memang akan melakukan snorkeling di sekitaran pulau Perak.


Laut Itu, Mempesonakan

Kapal berhenti. Terapung dipermukaan Kristal yang jernih, air laut. Dari atas kapal kecil ini, saya bisa melihat bayangan saya yang sedikit ragu. Bang Timmy, yang memang seorang Diver, meminjamkan snorkel, dan google nya untuk saya. Sementara dia sudah nyemplung dari tadi, saya masih berfikir macam-macam. Bagaimana kalau saya nanti tenggelam? Bagaimana kalau nanti ada hiu atau monster laut berkaki banyak membelit saya dan menarik saya ke dasar laut untuk dijadikan santapan sore? Hah.. banyak


Dan dorongan itu semakin kuat dihati saya. Dengan segenap keberanian yang terhimpun, demi penasaran dan keingintahuan saya yang menggebu, saya meloncat dari atas kapal. Menerjang lautan. Memecah permukaan laut yang bening seperti kaca. Membiarkan badan saya menggantung dalam air hingga ke leher. Pelampung saya bekerja secara efektif. Namun saya masih tak bergerak, berkali-kali menganggat kepala saya menghindari air laut super asin masuk ke mulut.


Ini memang bukan kali pertama saya mandi dilaut. Tapi seintens ini, hanya ada dalam khayalan dan mimpi saya. Tapi hari ini saya melakukannya.


Bang Timmy datang menghampiri saya, mengajarkan beberapa teknik bersnorkling dengan benar. Memasangkan google yang ternyata terlalu longgar dikepala saya, dan mengajarkan cara berenang hanya dengan menggerakkan kaki. Saya menurut saja. Mengikuti semua instruksinya. Mencoba satu metode ke metode lain.


Dan lihatlah, pada ksesempatan selanjutnya, saya bisa mengapung diatas air lautan ini, tanpa pelampung. Meski berkali-kali mulut kemasukan air asin, namun saya masih terus mencoba. Hingga kemudian, Heni yang juga sama takutnya dengan saya, juga dapat berenang tanpa pelampung dilautan.


Yah, saya sudah berhasil menemukan titik phobia saya terhadap air. Saya bahkan bisa melihat ikan-ikan kecil berlarian menghindari tendangan kaki saya dan bang Timmy. Karang-karang terlihat jelas dari atas sini. Memang tidak seperti yang saya saksikan di film atau photo-photo bawah air di majalah, tapi semua menjadi nyata didepan mata. Benda empat dimensi yang sebenarnya. Bukan cetakan kertas dan manipulasi warna separasi.


Laut ini, ternyata betul-betul mempesonakan saya. Menciptakan dunia yang selama ini hanya ada dalam imajinasi terliar saya, manjadi sangat dekat. Tubuh saya melayang. Tidak menginjak daratan, namun tidak juga membentur atap. Kaki bergerak bebas, menendang-nendang air yang bening mengkristal. Hanya kepala saya yang masih terbebas. Pelampung membuat kepala saya tetap dipermukaan, bebas menghirup oksigen. Dan saya mengerti, ucapan sang patroli pagi tadi. Ini rasanya. Begini rasanya.


Dan ketika sore menjelang, kami kembali ke pulau. Tenda-tenda berjajar dipermukaan pasir putih. Pintunya mengarah ke lautan lepas dan pulau-pulau diseberang. Beberapa kawan meneruskan pengalaman mereka bermain air. Saya, sudah cukup letih dan memutuskan untuk beristirahat saja, menikmati sisa hari ini.


Sebuah Pengalaman Baru

Langit malam bertabur bintang-bintang kelap-kelip. Jutaan jumlahnya. Malam ini, kesempurnaan malam tercipta dengan manis dipantai. Deburan ombak, nyala lampu petromak dan deretan tenda-tenda dipasir putih. Sementara bulan sabit dan jutaan bintang menaungi dari angkasa.


Pulau ini, memang tak ada listrik. Tapi, bukankah itu yang selalu didambakan. Kembali kepada asal muasal peradaban, selalu mendatangkan sensasi yang lain. Tak ada listrik. Dan ini sempurna.


Pulau perak, memberikan pengalaman baru yang membuat saya semakin mencintai alam. Laut, perlahan-lahan menjadi sahabat baru yang akan terus saya kenali, hingga kami tidak lagi menjadi musuh. Kawan-kawan baru yang kemudian menjadi sahabat buat saya, pun bertambah.


Laut dengan segala pesonanya, juga telah mempesonakan saya. Pulau Perak menjadi tempat pertama saya mengapung dilautan tanpa pelampung. Dan saya akan terus belajar, mencari penawar bagi ketakutan-ketakutan saya.


Terima kasih

Allah SWT, Rasulullah SAW. Emak yang selalu sabar.

Bang Timmy, yang telah membangun kepercayaan diri saya.

Heni, dan teman-teman Brownies Adventure, Faries, Juppy, Rangga, Redy…

JPers – Jejak Petulang Community, Kohan, Wawan, kost Benhil

Kawan-Kawan Seperjalanan,

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny