Saya pernah dua kali kehilangan yang sangat besar. pertama ketika ayah saya meninggal karena sakit lama yang beliau hidap dan tak kunjung sembuh. Ketabahannya, dalam sakit, membuat kami, anak-anaknya mengerti, kejam hidup dalam kungkungan kemiskinan. Uang seakan menjadi benda paling menakutkan untuk dihitung dalam dompet kami.
Duka akibat kepergian itu, meskipun hanya dalam hitungan detik, membekas dalam tiap sudut rumah kami yang bambu. Dia menjadi noda, seperti jelaga yang mengapung disudut-sudur dapur Ibu yang tidak berubin, hanya berlantai tanah. Jelaga itu, makin hari makin tebal. Hitam dan suram. Dan kepergian itu juga seperti air yang merembes dari celah-celah genteng rumah yang bocor karena tidak pernah diperbaiki. Umur tuanya memberi jalan masuk bagi air hujan dingin untuk mencari kehangatan dalam rumah.
Noda kepergian itu, bahkan masuk dalam setiap sudut lemari, didalam tiap piring makan kami, berbaur bersama nasi dan sayur yang menjadi menu tiap hari. Dia merengsek masuk dalam tumpukan buku-buku pelajaran yang usang tak bersampul. Singkatnya, kepergian itu menempel, terus menjadi bagian hari-hari sampai beberapa lama.
Dikemudian hari, kepergian itu kembali membuat luka. Kali ini, dari pengharapan yang terlalu sudah mengawang. Dari seorang, yang rasanya, pada hari itu sangat pas terasa mengisi tiap luka karena kepergian Ayah.
Hari itu, kami mengikatkan janji, menelusuri jalanan penuh debu dan membentangkan layar pada lautan kehidupan yang akan ditempuh. Simbol-simbol melingkar dijari-jari kami. Terucap asma Tuhan, yang rasanya sangat malu untuk mengingkari satu sama lain. Ini perjalanan paling penting ketika semua tawa membaur dalam gerusan roda yang sama-sama beringas ingin didengar.
Meski akhirnya, semua juga berakhir dalam hilang. Kehilangan simbol-simbol dari tawa yang dulu bergerak melingkari jemari. Semuanya hanya sebatas ketepaduan yang salah. Pemilihan keputusan yang terlalu terburu-buru, hingga akhirnya membawa kehilangan yang sangat dalam. Salah siapa, jika kita yang tidak mampu memahami kehendak orang lain, terpaksa terjerumus seperti sapi yang dicokok hidungnya. Atau seperti jamaah yang hanya mengamini apa yang imam doakan, meski tak pernah benar-benar mengerti artinya.
Dan hidup yang paling hidup, bermula kemarin. Memberanikan diri menceburkan diri dalam kemelut kehidupan sebenarnya. Mencoba menjadi bagian dari dunia ini secara utuh, secara lengkap. Meski samar, dan kian redup, bayangan luka itu berkali-kali meledek keluar dari persembunyiannya dalam kotak-kotak kecil di tas, meloncat dari sela-sela serat kain baju yang terbawa dan tak hilang dari dulu. Sekarang mereka bahkan sudah beranak pinak, hingga duka itu tak bisa lagi bisa dikenali dengan baik. Saya bahkan harus meraba dan menerka, apakah itu betul-betul kedukaan, atau dia sudah menjadi kegilaan nekad yang akan menggorok urat malu ini hingga putus.
Tiba-tiba saja, saya menjadi sangat takut. Memikirkan segala yang sudah saya mulai dulu. Membiarkan simbol-simbol dari pengharapan sebelumnya menjadi basi, pucat dan membusuk dalam lingkaran jemari. Apa mungkin ini akan seperti itu juga? (bm/0810)
Duka akibat kepergian itu, meskipun hanya dalam hitungan detik, membekas dalam tiap sudut rumah kami yang bambu. Dia menjadi noda, seperti jelaga yang mengapung disudut-sudur dapur Ibu yang tidak berubin, hanya berlantai tanah. Jelaga itu, makin hari makin tebal. Hitam dan suram. Dan kepergian itu juga seperti air yang merembes dari celah-celah genteng rumah yang bocor karena tidak pernah diperbaiki. Umur tuanya memberi jalan masuk bagi air hujan dingin untuk mencari kehangatan dalam rumah.
Noda kepergian itu, bahkan masuk dalam setiap sudut lemari, didalam tiap piring makan kami, berbaur bersama nasi dan sayur yang menjadi menu tiap hari. Dia merengsek masuk dalam tumpukan buku-buku pelajaran yang usang tak bersampul. Singkatnya, kepergian itu menempel, terus menjadi bagian hari-hari sampai beberapa lama.
Dikemudian hari, kepergian itu kembali membuat luka. Kali ini, dari pengharapan yang terlalu sudah mengawang. Dari seorang, yang rasanya, pada hari itu sangat pas terasa mengisi tiap luka karena kepergian Ayah.
Hari itu, kami mengikatkan janji, menelusuri jalanan penuh debu dan membentangkan layar pada lautan kehidupan yang akan ditempuh. Simbol-simbol melingkar dijari-jari kami. Terucap asma Tuhan, yang rasanya sangat malu untuk mengingkari satu sama lain. Ini perjalanan paling penting ketika semua tawa membaur dalam gerusan roda yang sama-sama beringas ingin didengar.
Meski akhirnya, semua juga berakhir dalam hilang. Kehilangan simbol-simbol dari tawa yang dulu bergerak melingkari jemari. Semuanya hanya sebatas ketepaduan yang salah. Pemilihan keputusan yang terlalu terburu-buru, hingga akhirnya membawa kehilangan yang sangat dalam. Salah siapa, jika kita yang tidak mampu memahami kehendak orang lain, terpaksa terjerumus seperti sapi yang dicokok hidungnya. Atau seperti jamaah yang hanya mengamini apa yang imam doakan, meski tak pernah benar-benar mengerti artinya.
Dan hidup yang paling hidup, bermula kemarin. Memberanikan diri menceburkan diri dalam kemelut kehidupan sebenarnya. Mencoba menjadi bagian dari dunia ini secara utuh, secara lengkap. Meski samar, dan kian redup, bayangan luka itu berkali-kali meledek keluar dari persembunyiannya dalam kotak-kotak kecil di tas, meloncat dari sela-sela serat kain baju yang terbawa dan tak hilang dari dulu. Sekarang mereka bahkan sudah beranak pinak, hingga duka itu tak bisa lagi bisa dikenali dengan baik. Saya bahkan harus meraba dan menerka, apakah itu betul-betul kedukaan, atau dia sudah menjadi kegilaan nekad yang akan menggorok urat malu ini hingga putus.
Tiba-tiba saja, saya menjadi sangat takut. Memikirkan segala yang sudah saya mulai dulu. Membiarkan simbol-simbol dari pengharapan sebelumnya menjadi basi, pucat dan membusuk dalam lingkaran jemari. Apa mungkin ini akan seperti itu juga? (bm/0810)
Comments
Post a Comment