Saya pernah, menelusur lebih dari sepuluhkilo meter, dari pagi hari hingga petang, di bibir pantai. Bercumbu dengan obak yang tidak pernah berhenti mendebum dipasir putih. Kulit saya gosong, perih. Namun kemudian, menceburkan diri dibening laut adalah pilihan yang menyenangkan. Kemudian, mendirikan tenda, membakar api unggun. Diri yang letih, lunglai dihajar angin laut yang dingin. Alih-alih masuk dalam hangatnya tenda, saya malah berbaring diatas pasir, menatap bintang-bintang yang tak terhingga banyaknya. Suara ombak yang pecah dipasir, deru angin, itulah nyanyian alam paling merdu.
Pada kesempatan yang lain, saya pernah mengarungi lebat hutan. Bermodal peta dan kompas, tanpa pernah sekalipun menginjak tempat ini. Hanya cerita dari mulut-ke mulut. Hanya petuah dari warga kampung tempat kami bermalam. Bahwa akan ada danau diujung sana, bahwa ada hutan lali jiwo, bahwa ada aliran air sungai yang seputih susu mengalir ditengah hutan. Katanya, katanya, dan katanya. Namun, dalam gerimis pagi hari, kami menempuhi juga licin tanah basah menuju harapan yang kami gantung di pucak edelweis tertinggi yang pernah kami lihat.
Hari itu, hujan tak kunjung berhenti. Sudah lebih dari 15 jam, hujan dengan petir dan angin mengamuk di lembah damai ini. Kilat menyambar-nyambar tanah. Deru angin, seperti hendak mengangkat akar pohon-pohon dan menerbangkannya menuju langit. Berkali-kali, suara mendebum keras terdengar, dahan patah. Saya merenung dalam dekapan sleeping bag kusam, meminum kembali teh yang sudah tidak berasa hangat. Beberapa tenda masih berdiri ringkih diujung sana. Kabut yang membungkus lembah ini, menguap entah kemana. Namun air masih turun dengan deras dari langit. Cahaya kilat, menerangi lembah mistis itu.
Keesokan harinya, hujan masih belum mau berhenti juga. Beberapa orang, memutuskan turun. Hingga hanya ada saya, dan dua atau tiga orang yang masih bertahan. Namun, mereka juga memaksa turun, ketika petir mulai berhenti menyanyi. Makanan mereka habis, dan kesempatan turun hanya ada sekarang. Mereka semua selamat sampai bawah, itu yang saya dengar. Dan saya, masih disini. Di hari kedua, badai yang entah kapan berakhir.
Itu, saya yang dulu. Seolah tidak pernah hilang ingatan-ingatan tentang petualangan yang selalu membuat saya bersyukur pernah dilahirkan kedunia. Ketika semua persoalan tak pernah bisa selesai dalam mediasi meja atau bicara, alam menyajikan sejuta pesona untuk mengubur dan mengupkan segala persoalan itu.
Menjejakkan kaki ditanah tertinggi Lombok, Jawa, Bali, semuanya seperti kontemplasi ke tempat dimana kesejatian dan penghargaan atas kehidupan jauh menekan ego dan emosi kejurang-jurang tanpa dasar.
Saya rindu hujan lebat dihutan pinus yang harum. Atau memancing didanau penuh ikan. Merindukan sabana kering dan gersang di lereng-lereng penuh sapi. Rindu, akan pasir putih yang mengotori kaki.
Dimana saya mencari dunia itu kembali? (bmkr/911)
Comments
Post a Comment