Seorang kawan perempuan, tiba-tiba menangis diujung telepon. Saya tergagap. Menunggu kata-kata pertama yang akan dia ucapkan. Hari itu, sudah pukul sembilan malam lewat empat puluh. Hampir tengah malam. Menunggu beberapa menit, dan tangis itu mereda, hanya ada dua kata yang kemudian keluar dari bibirnya. "maaf. nangis".. Sedetik kemudian, tawanya membahana, seolah masalahnya hilang mengalir bersama air matanya.
" ya udah, nangis aja. kalo ga sayang ama pulsa. tengah malem nelefon kok cuman pengen gua dengerin lu nangis diujung sono. terlalu,"
" iyaaa.. maaf kakak! aku pengen ngobrol, pengen curhat aja ama kakak ku yang bawel ini." katanya dengan centil, sama seperti dulu-dulu ketika saya bertemu dengan dia beberapa tahun yang lalu.
" ngobrol apa?"
" bisa ketemu gak?"
" kapan?"
" taon depan! ya sekarang lah. baru juga jam 9, masa udah mao tidur," runtuknya.
" eh, yang bilang udah mao tidur itu siapa? epicentrum, tempat biasa? " jawab saya.
" hahah... okey.. oke.. be there in 20 minutes. aku naek taksi ya kakak! see u there kakak ganteng. byeee..." klik. telepon ditutup.
" ndasmu!" jawabku yang entah apa dia sempat dengar atau tidak.
Jadilah malam itu, kami ketemuan di epicenturm kuningan. Tempat yang memang selalu menjadi meeting point kami kalau ngayab. Dari sini, kami biasa pergi sampai pagi, menikmati lampu-lampu apartemen yang meredup dan mati.
Dia sudah duduk manis ketika saya datang. Mukanya, sedikit letih. Kelihatan make up yang dipaksakan. Sweater abu-abu gelap nya menyatu dengan remang cafe yang buka sampai jam 12 malam itu.
" maaf, telat. ujung ke ujung nih," kata saya memberi alasan. Menghampirinya, dan mencium kedua pipinya. Dia memeluk erat untuk beberapa detik. "nggak apa-apa, aku juga baru dateng. eh, udah aku pesenin kopi kesenangan mu. TORAJA. NO SUGAR! puas?" matanya melotot.
Saya tertawa. Pertemanan kami, sejak beberapa tahun, membuat kami mengenal baik pribadi masing-masing . Seperti saya yang tau betul kalau dia akan memilih makan mie instant dengan telur dan irisan cabe, dari pada makan nasi padang. Dia yang lebih sering nonton sepak bola di senayan, ketimbang masuk salon. Perempuan yang aneh.
" haha.. iya, iya. makasih." jawab saya singkat, " jadi ada apa rupanya, kamu suruh abang mu ini jalan jauh-jauh dari Ciputat menemani kamu ngopi disini? mau cerita gebetan baru mu yah?" kataku asal ngomong.
Dia tertawa pelan. Kemudian pandangan matanya menerawang, menembus kaca kafe yang bening, memantulkan gemerlap lampu jalan yang menguning. Ada beban kelihatan amat dalam terkubur disana. Saya menyentuh punggung tangannya, "kenapa?"
Matanya berkaca-kaca. Sebelah tangan saya menyodorkan tissue yang tergeletak di meja kami. Ragu-ragu ia mengusap air mata yang hampir meleleh, seraya berkata pelan, "saya harus kuat," hanya itu. Gumaman yang lebih tepat. Sejurus kemudian, dia membetulkan duduknya. Menyeruput capuchino dinginnya sekali lagi, seolah menyiapkan sebuah kekuatan besar untuk melakukan sesuatu yang sangat besar pula.
" saya hamil, bang!" katanya getir.
Saya memandangnya, lurus. Menunggu kata-kata apalagi yang akan keluar. Pembenaran dari peristiwa itu, penjelasan rinci untuk kejadian itu, atau justru amukan emosi yang tidak bisa terlontar semuanya. " abang kok, ga terkejut?" tanyanya heran.
" kenapa harus terkejut. kamu kan perempuan, kalo kamu hamil, ya itu normal. banyak lho perempuan yang ga bisa hamil, " jawab saya, berusaha mencairkan sesutu. Bodoh! Itu, kecam hati saya, ketika kata-kata itu meluncur dari mulut saya begitu saja, tanpa ada rem. Diluar dugaan, dia malah tertawa.
" iya, yah. aku beruntung dong, bisa hamil. hahaha..." jawabnya getir. Kemudian diam, " lelaki itu, mantan pacar saya..." dia meneruskan ceritanya dengan pelan.
Saya mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Memperhatikan bola matanya, yang kadang membelalak benci, menyipit penuh harap. Memperhatikan gerak tangannya, yang kadang liar, kadang terkulai tidak berdaya.
Semua orang, punya masa lalu. Baik dan buruk. Anehnya, masa lalu yang baik, kadang kala selalu luput dari ingatan. Itu, seperti air yang mengalir deras disungai menuju lautan, untuk kemudian, kita lupa air laut yang mana yang merupakan kenangan baik kita. Melebur dengan jutaan kubik air dari jutaan sungai yang lain. Namun, yang buruk, seperti pelastik dialiran sungai itu. Meski sudah sampai kelaut, kita seolah ingat, itu adalah plastik milik kita.
Yang jadi persoalan kemudian, bukan membombardir pertanyaan, kenapa itu terjadi. Bagaimana itu bisa terjadi, dengan siapa itu terjadi. Apa nasib anak itu kemudian. Namun, bagaimana kita mempersiapkan hari depan untuk diri kita. Mempersiapkan mental untuk menerima dan menghadapi kehidupan setelah ini semua terjadi.
Hidup, adalah hari ini. Masa depan itu investasi yang hari ini kita tanam. Ibaratnya, kita sedang menanam untuk masa depan kita. Sedang masa lalu, jangan pernah jadi duri, untuk menanam. (bmkr/911)
Comments
Post a Comment