Saya tidak akan benar-benar faham dengan kehidupan dan jalan Tuhan. Anda mungkin juga. Entah apakah kemudian akan berpura pura mengerti, mencari tahu, atau malah meninggalkannya, membiarkan itu berlalu begitu saja, seperti memang begitulah adanya sesuatu itu, tanpa ada campur tangan dari kita. Tangan Tuhan, terlalu halus untuk memaninkan guratan nasib. Sedang praduga, seringkali terlalu tinggi, sehingga tak pernah terfikir untuk mempertimbangkan baik buruk dan kenyataan manis pahit.
Lebaran, selalu jadi masa yang menyenangkan. Ketika jauh menjadi dekat, dan pengharapan melambung menembus syurga, terhadap permohonan maaf lahir batin yang indah. Lihat, warna-warni pakaian bocah-bocah centil, yang tidak pernah bosan berlarian. Mengejar satu sama lain, menyalakan kembang api, dan penuh suka ria. Sekiranya dunia saya berhenti dimasa kecil, pastilah menyenangkan.
"Iraha maneh rek kawin, Sep(1)? Sok geura tingali, lanceuk, rencang maneh geus gaduh pamajikan jeung anakna geus dua, aya oge nu tilu,"(2) tanya Uwak (3), di malam takbiran itu. Tradisi keluarga kami, memang berkumpul di malam terakhir Ramadhan atau dimalam takbiran. Namun pertanyaan itu, seperti menjadi petasan lain ditelinga saya. Gendang telinga tak hanya sakit dibuatnya, hampir pecah rasanya. Tapi itulah. Pertanyaan yang saya anggap perhatian dari seorang yang lebih tua kepada keluarga yang lebih muda.
Saya menyikapi dingin pertanyaan itu. Tentu saja, ada lelucon atau sindiran dari pertanyaan itu, karena konteks nya, sudah ditanyakan hampir setiap kali kami bertemu. Saya yang jarang dirumah, menjadi bahan empuk olok-olok. Dari kaos saya yang berbentuk V neck, rokok saya yang menthol, jomblo dan belum nikah sampai sekarang, dan masih banyak lagi. Nampaknya, keharmonisan keluarga menjadi lebih terasa dan bersatu, ketika objek penderita olok-olok tersebut memang tidak bisa berbuat apa-apa.
Getir, saya teringat beberapa hari yang lalu. Ketika BBM saya berbunyi malam-malam, setelah magrib.
Saya minta maaf, betl-betul minta maaf. Ini kesempatan yang saya buang dengan sadar dari mu. saya juga betul-betul bingung, harus menjawab apa. Yang ada dalam otak saya ketika itu, ketika saya membaca BBM mu, untuk membina sebuah rumah tangga, seperti kapal yang terlambat menjemput. Kenapa tidak setahun yang lalu? Kenapa tidak enam bulan yang lalu? Kenapa tidak ketika kita sering bersama-sama dahulu?
Kamu ingat pembicaraan "ngawur" kita tentang konsep rumah tangga di kereta itu? Dan konsep yang kamu tawarkan adalah yang saya cari. Kenapa tidak waktu itu, kamu melamar saya?
Lepas dari itu semua, lihat lah kita sekarang. Mari berfikir realistis. Kamu di Jakarta, saya di luar pulau, dan orang tua saya juga di luar pulau. Kita seperti tiga sudut segitiga yang tidak pernah akan bisa bersatu, meski ada jari-jari yang menghubungkan satu dengan yang lainnya. Saya takut menyakiti orang sebaik kamu, dengan konsep "ngawur" pernikahan yang ternyata saya bisa terima, semuanya.
Kenapa sekarang? Baru sekarang?
Indah bukan? Itulah kenyataannya. Seandainya Uwak saya tahu tentang ini, pasti ia akan terbang ke tempat itu dan menarik nya untuk kembali ke Jakarta. Uwak memang selalu penuh semangat. Dia yang berkeras menikahkan saya dengan beberapa perempuan anak temannya. Meskipun, semuanya saya tolak dengan hormat.
"Sep. Nikah, bukan hanya sekedar mencari pasangan karena keterpaksaan umur atau omongan orang. Ada tanggung jawab yang besar ketika ijab qobul "disah"kan. Ketika si bapak redho, anaknya dibawa ku Asep. Jangan lupa, yang kamu bawa itu, anak orang, butuh makan, butuh nafkah, butuh tempat tinggal, ditentramkan hatinya, diusap airmatanya waktu sedih, dibimbing kejalan Gusti Allah. Bukan untuk sehari dua hari. Bukan untuk sebulan dua bulan. Jangan hanya menikmati indah nya bulan madu saja! Faham teu?"Kali ini, mamang yang bicara. Dia membuka mata saya lebar-lebar bagaimana konsep rumah tangga bertanggung jawab. Umur memang tidak pernah bisa menipu siapapun. Kemampuan fisik berkurang seiring bertambahnya usia. Namun, finansial juga menjadi penting dalam kontek penghidupan yang layak. Meski semua bisa disiasati, mental kemudian menjadi penentu sanggup atau tidaknya menyiasati itu semua.
Keterpurukan ekonomi, kata Mamang, sering berujung dua dalam pernikahan. Menjadikan pasangan itu lebih tawadhu, atau menjadikan pasangan itu memiilih jalan masing-masing. Bercerai. Ekonomi, menjadi pemicu dari seklian banyak masalah yang tidak pernah bisa diselesaikan dengan gampang. Ketika kantong kosong, perut lapar, emosi dan setan bersorak memprovokasi setiap tindakan.
Dan saya bersyukur. Ini bukan penolakan yang menghancurkan. Ini teguran, bahwa ada sesuatu yang membuat saya belum bisa menjalankan kehidupan saya yang lain. (bmkr/0911)
ooOOoo
Note:
(1) Kapan kamu mau nikah, Sep? Coba lihat saudara dan teman-temanmu sudah punya istri semua, dan anaknya sudah dua ada yang tiga?
(2) Sep, dalam bahasa Sunda, singkatan dari Kasep (ganteng) yang lazim diucapkan kepada anak lelaki sebagai sapaan sayang
(3) Kakak dari ibu atau Bapak
Comments
Post a Comment