Pernah dibilang nggak normal sama teman-teman? Karena memasuki usia lebih dari seperempat abad, masih menjomblo?Atau pernah dibilang hal yang paling menyesakkan ketika ternyata mereka menganggap kita berorientasi sexual beda? Pertanyaan itu, bisa saja muncul dan dilontarkan kepada siapapun. Saya, anda, atau siapapun didunia ini, oleh siapa saja didunia ini?
Seorang kawan, menyembunyikan pernikahannya kepada saya. Meski, kami begitu dekat, namun tingkat sakralisme dan ekslusifitasnya ternyata membuat dia rela, tidak memberitahukan hal itu kepada saya. Dan ketika ditanya, dia menjawab, kalau saya dia anggap sudah tahu, dari media sosial yang dia punya. Kecewa? Tidak juga. Setiap manusia berhak untuk memberikan informasi, kepada siapapun dan kapanpun dia mau. Lagipula, ini adalah tentang dia dengan pasangannya, dan tak terkait langsung dengan saya. Disamping, dia sedang membawa dirinya menjalani kodrat sebagai manusia utuh. Pastinya, dia membutuhkan ruang lebih untuk bisa bernafas dengan tanpa polusi, me-recharge otaknya dengan sesuatu yang bersih dan baru.
Memilih pendamping hidup itu, nampaknya memang bukan perkara main-main. Bayangkan saja, ada keterlibatan seluruh keluarga besar disana. Yang tua, merasa mereka yang paling mengerti. Menjadi pemeran utama dalam perhelatan penyatuan dua keluarga dalam satu garis silsilah yang dianyam anak-anak mereka. Sedangkan anak, yang seharusnya jadi peran utama dalam ikatan ini, lebih terlihat seperti terdakwa, yang suaranya saja nyaris tidak terdengar. Dibungkam oleh sejembreng embel-embel bernama tanggung jawab sebagai tetua. Orang tua membuat ini kelihatan lebih sulit dari seharusnya. Ada nama baik keluarga dipertaruhkan dari tawa-tawa dan desas-desus berita yanng akan terisar. Ada egoisme yang terpancar dari rasa tanggung jawab berbentuk proteksi dan perasaan ingin dihargai.
Siapa menanggung siapa? Siapa yang menjawab siapa?
Orang tua, mengemban tanggung jawab besar, dalam membimbing anak-anaknya menuju sebuah penghidupan baru bernama pernikahan. Ia, seperti juru kunci, yang memegang anak kunci, dan mengantarkan si anak menuju pintu yang tepat untuk dibuka. Sampai sini saja? Tentu tidak. Meski seharusnya, membiarkan dua Pengantin itu masuk dalam belantara kehidupan mereka, setelah pintu dibuka, nyatanya, tak sedikit orang tua yang mengawasi lewat lubang kunci dan atau membuat celah-celahh ditembok untuk memberi dogma-dogma kepada si dua pembelajar kehidupan itu, dari tempat-tempat yang tidak terduga.
Lalu, sampai dimana tanggung jawab seorang anak yang menjalani kodrat sebagai anak, semuanya menjadi absurd. Dia
menjadi tetap anak, yang seolah menjiplak kehidupan leluhurnya. Bercermin kepada bayangan yang sedari kecil menaungi. Membiarkan dirinya menjadi hangat dalam naungan semu, yang sebentar lagi hilang. Manjalani kodrat dalam keadaan bertanggung jawab, tentu saja membutuhkan sebuah keberanian besar. Keberanian untuk melapas masa lalu, yang setidaknya mempunyai kenangan yang tidak sedikit. Meleburkan diri dalam sebuah bakaran baru kehidupan, ditempa, untuk menjadi tangguh. Bahkan pedang paling tajampun dibakar dan ditempa dalam nyala yang sangat panas bukan?(bmkr/1211)
Comments
Post a Comment