Skip to main content

Lelaki : Menerima dan Memahami


Keputusan apa yang pernah anda buat dimasa lalu, sehingga menjadi penyesalan tiada terperi hingga dimasa kini? Pernahkah kita menyalahkan nasib dan keadaan karena ketidakmampuan untuk menjalani sesuatu, sehingga semuanya jauh dari perkiraan dan gabaran masa depan?

Seorang remaja Pria, menemui si Lelaki, dan bercerita tentang keseharian hidup yang merasa terkucil jadi pergaulan, karena status sosial yang berasal dari lingkungan yang biasa-biasa saja. Dalam keluarganya, Si Remaja Pria harus merelakan masa mudanya untuk menghidupi keluarganya. Mengorbankan waktu bergaulnya, ketika begitu banyak teman-temang sebayanya menghabiskan waktu berjam-jam nongkrong dicafe, atau nonton, dia sudah sibuk dengan peraduan nasib demi ibu dan adik-adiknya.

Bapaknya, sudah lama meninggal. Hingga, meski bukan anak paling tua, karena kakaknya sudah menikah dan punya keluarga sendiri, dia harus rela hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah lanjutan atas. Kemudian menjadi pekerja pada salah satu perusahan, dengan pangkat rendah dan bergaji rendah pula. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya, untuk menginjakkan kaki dan duduk dikursi perkuliahan karena, kecintaannya kepada ibunya yang sudah tua dan harus ia hidupi. Namun, ketika nasib mempertemukan dia dengan orang-orang pandai dan dari golongan mapan dipergaulannya, dia menimba dan menanam tanpa pernah mencari pamrih dari semuanya. Belajar, bagi dia tak perlu menuntaskan strata satu atau dua di univeristas. Hidup itu sendiri adalah tempat belajar yang sangat-sangat banyak memberi.

" Saya tidak pernah berniat kuliah, Bang," katanya melanjutkan cerita sore itu. " Melihat ibu saya tertawa karena tidak kelaparan, adalah surga saya. Melihat ia tersenyum setiap kali saya memberikan sebagian gaji saya, dan berdoa tulus untuk kehidupan saya kelak, itu seperti embun yang menyiram saya dalam letih sepulang bekerja," imbuhnya.

" Tapi kamu kan pintar, " Lelaki menyela, " bukan cuma pintar, cerdas malah. Dan itu akan lebih mantap kalau di asah di universitas!"

Si Pria Remaja tertunduk, ada seburat kesuraman membenam dalam sorot mata yang berusaha disembunyikan dari tatapnya. Batinnya, menggelegak, seperti nafas yang dia hirup dalam-dalam dan getar tangannya yang meremas satu sama lain dalam tatapan kosong yang jauh. Dia seperti tidak rela mendengar kata-kata Lelaki. Menyesal, bertanya seperti itu, mungkin. Tapi Lelaki tetap teguh pada pemikirannya.

" Hidup itu sulit, ya Bang?" katanya, lesu," saya yang mati-matian pengen kuliah, malah nggak pernah punya kesempatan buat mengenyam itu secara utuh. Saya kumpulkan secoret demi secoret catatan hingg aitu bisa jadi bahan pelajaran, dan saya simpan jadi pusaka. Sementara disana, ratusan anak-anak kaya, malah males-malesan belajar. Saya jadi cemburu," tambahnya.

Kali ini, Lelaki mengganguk pelan. Menatap ruang kosong dalam mata si Pria Remaja.Wajar saja si Remaja merasa iri kepada teman-teman sebayanya yang mempunyai waktu lebih banyak untuk menikmati masa remaja. Mencurahkan energi masa remaja dengan cara remaja. Tapi dia, harus membanting tulang untuk membayar tagihan listrik dan membeli laukpauk makan keluarganya sehari-hari.

" Kamu seharusnya bangga. Menjadi bagian dari keluargamu secara utuh. Membiarkan tulang-tulangmu yang muda menjadi kuat kerena bekerja. Dan keringat yang membanjir ditubuh itu menjadi doa untuk kehidupanmu kelak. Ibumu itu seperti pusaka, yang harus kau jaga dan kau buat bahagia. karena dari dia, doa yang dikabulkan Tuhan berasal,"

Kecemburuan terhadap keberhasilan seseorang, itu adalah sikap yang manusiawi. Seperti si Remaja yang tak punya masa remaja. Hingga merasa tak punya apapun. Namun sebenarnya, dia adalah seorang pejuang sebenarnya. Dia lah guru sebenarnya. Hingga pada ujung cerita, si Remaja berkata, lebih iri karena teman-temannya mendapat pekerjaan yang lebih mapan dari dia, karena mereka -teman-temannya itu- pernah dan sudah menjadi sarjana. Dia berharap sekarang dia sudah sarjana. Tapi, itu hanya harapan. Berapa kali ia tersandung dengan masalah ijasahnya, hingga ia menjadi sangat kecewa dan tertekan. Tapi kemudian dia berfikir bahwa dia sudah punya kehidupan. Dia memutuskan untuk terus melangkah dan tidak mengandalkan orang lain.

Lelaki belajar banyak dari itu. (bmkr/1211)



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny