Keputusan apa yang pernah anda buat dimasa lalu, sehingga menjadi penyesalan tiada terperi hingga dimasa kini? Pernahkah kita menyalahkan nasib dan keadaan karena ketidakmampuan untuk menjalani sesuatu, sehingga semuanya jauh dari perkiraan dan gabaran masa depan?
Seorang remaja Pria, menemui si Lelaki, dan bercerita tentang keseharian hidup yang merasa terkucil jadi pergaulan, karena status sosial yang berasal dari lingkungan yang biasa-biasa saja. Dalam keluarganya, Si Remaja Pria harus merelakan masa mudanya untuk menghidupi keluarganya. Mengorbankan waktu bergaulnya, ketika begitu banyak teman-temang sebayanya menghabiskan waktu berjam-jam nongkrong dicafe, atau nonton, dia sudah sibuk dengan peraduan nasib demi ibu dan adik-adiknya.
Bapaknya, sudah lama meninggal. Hingga, meski bukan anak paling tua, karena kakaknya sudah menikah dan punya keluarga sendiri, dia harus rela hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah lanjutan atas. Kemudian menjadi pekerja pada salah satu perusahan, dengan pangkat rendah dan bergaji rendah pula. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya, untuk menginjakkan kaki dan duduk dikursi perkuliahan karena, kecintaannya kepada ibunya yang sudah tua dan harus ia hidupi. Namun, ketika nasib mempertemukan dia dengan orang-orang pandai dan dari golongan mapan dipergaulannya, dia menimba dan menanam tanpa pernah mencari pamrih dari semuanya. Belajar, bagi dia tak perlu menuntaskan strata satu atau dua di univeristas. Hidup itu sendiri adalah tempat belajar yang sangat-sangat banyak memberi.
" Saya tidak pernah berniat kuliah, Bang," katanya melanjutkan cerita sore itu. " Melihat ibu saya tertawa karena tidak kelaparan, adalah surga saya. Melihat ia tersenyum setiap kali saya memberikan sebagian gaji saya, dan berdoa tulus untuk kehidupan saya kelak, itu seperti embun yang menyiram saya dalam letih sepulang bekerja," imbuhnya.
" Tapi kamu kan pintar, " Lelaki menyela, " bukan cuma pintar, cerdas malah. Dan itu akan lebih mantap kalau di asah di universitas!"
Si Pria Remaja tertunduk, ada seburat kesuraman membenam dalam sorot mata yang berusaha disembunyikan dari tatapnya. Batinnya, menggelegak, seperti nafas yang dia hirup dalam-dalam dan getar tangannya yang meremas satu sama lain dalam tatapan kosong yang jauh. Dia seperti tidak rela mendengar kata-kata Lelaki. Menyesal, bertanya seperti itu, mungkin. Tapi Lelaki tetap teguh pada pemikirannya.
" Hidup itu sulit, ya Bang?" katanya, lesu," saya yang mati-matian pengen kuliah, malah nggak pernah punya kesempatan buat mengenyam itu secara utuh. Saya kumpulkan secoret demi secoret catatan hingg aitu bisa jadi bahan pelajaran, dan saya simpan jadi pusaka. Sementara disana, ratusan anak-anak kaya, malah males-malesan belajar. Saya jadi cemburu," tambahnya.
Kali ini, Lelaki mengganguk pelan. Menatap ruang kosong dalam mata si Pria Remaja.Wajar saja si Remaja merasa iri kepada teman-teman sebayanya yang mempunyai waktu lebih banyak untuk menikmati masa remaja. Mencurahkan energi masa remaja dengan cara remaja. Tapi dia, harus membanting tulang untuk membayar tagihan listrik dan membeli laukpauk makan keluarganya sehari-hari.
" Kamu seharusnya bangga. Menjadi bagian dari keluargamu secara utuh. Membiarkan tulang-tulangmu yang muda menjadi kuat kerena bekerja. Dan keringat yang membanjir ditubuh itu menjadi doa untuk kehidupanmu kelak. Ibumu itu seperti pusaka, yang harus kau jaga dan kau buat bahagia. karena dari dia, doa yang dikabulkan Tuhan berasal,"
Kecemburuan terhadap keberhasilan seseorang, itu adalah sikap yang manusiawi. Seperti si Remaja yang tak punya masa remaja. Hingga merasa tak punya apapun. Namun sebenarnya, dia adalah seorang pejuang sebenarnya. Dia lah guru sebenarnya. Hingga pada ujung cerita, si Remaja berkata, lebih iri karena teman-temannya mendapat pekerjaan yang lebih mapan dari dia, karena mereka -teman-temannya itu- pernah dan sudah menjadi sarjana. Dia berharap sekarang dia sudah sarjana. Tapi, itu hanya harapan. Berapa kali ia tersandung dengan masalah ijasahnya, hingga ia menjadi sangat kecewa dan tertekan. Tapi kemudian dia berfikir bahwa dia sudah punya kehidupan. Dia memutuskan untuk terus melangkah dan tidak mengandalkan orang lain.
Lelaki belajar banyak dari itu. (bmkr/1211)
Comments
Post a Comment