Skip to main content

Lelaki : Penghargaan & Kritik Diri


Seringkali, kita merasa kecewa dan marah. Ketika tahu bahwa kita tidak lebih dihargai dari seorang artist di restoran. Pernahkah mengalami, seorang pelayan rumah makan yang lebih memperhatikan seorang selebritis yang juga, kebetulan makan ditempat sama dengan kita? Atau seorang satpam di pusat
 pertokoan yang membukakan pintu kepada seorang public figure, dan cuek saja ketika kita lewat setelahnya, serta harus membuka pintu sendiri?

Marah, itu memang manusiawi. Tidak normal rasanya, melihat orang yang tidak pernah marah. Kok ya, dunianya jadi datar sekali. Dan bukannya, marah yang disimpan terlalu dalam juga berbahaya, ketika dia meledak nanti? Kobaran emosi yang tidak terekspos, akan menjadi api  yang membakar pelan-pelan, dan membuat emosi dan perangai tidak stabil. Bisa jadi..

Kapan saatnya, kita harus melampiaskan marah, itu juga menjadi "PR" untuk kita. Saat yang tidak tepat, membuat marah menjadi sesuatu yang menjijikkan, tidak intelek, dan bahkan bisa jadi seperti kamuflase dari kesalahan dan ketidakmampuan, bahkan, ketidak percayaan terhadap orang lain. Berbahaya bukan? Bagaimana ketika seseorang tiba-tiba marah-marah kepada kita, sebenarnya dia yang salah. Kendaraan kita ditabrak dari belakang, misalnya, dan sipenabrak marah-marah, karena menganggap kita tidak hati-hati. Berdalih kita ngerem mendadak dan lain-lain. Bukankah ini sangat "kampungan'? Kamuflase dan pembelaan karena tidak mau disalahkan?

Menjadi diri sendiri, itu seringkali membuat kita merasa lebih dari orang lain. Kritik menjadi semacam api yang ingin menghanguskan perfeksionisme yang sudah dianut puluhan tahun. Kita tidak terima, masukan. Input hanya sebuah ancaman dari eksistensi yang sudah merapat dan menjadi bagian dari diri kita. 

Standard hidup yang tinggi, biasanya menimbulkan rasa sempurna terhadap diri sendiri menjadi tinggi. Semuanya selalu dikembalikan kepada diri sendiri. Seperti manaruh cermin dimana-mana. Meletakkan nya disetiap penjuru jagad yang didatangi. Melihat rumah orang berantakan, dia berkaca ke rumahnya. Mendapati meja makan disebuah warung, yang dekil karena sudah jutaan orang yang makan disana, dia membandingkan dengan marmer dirumahnya. 

Semestinya, ini menjadi kritik terhadap diri sendiri. Betapa beragam kehidupan yang terpapar dipersada bumi. Rumah adalah tempat pulang. Ketika kita mengharap kenyamanan dan kehanggatan kasuur dan tempat duduk didepan tivi. Namun, itu tidak bisa tentu saja, dengan serta merta dijadikan tolak ukur kehidupan semua isi bumi. 

Ribuan orang mati kelaparan setiap menit. Afrika, menjadi tempat paling lapar didunia. Ribuan orang tak pernah merasakan tidur dalam selimut. Dan mati karena malaria. Apakah itu, bukan kritik terhadap kesempurnaan absurd yang selalu dibuat seperti layaknya benteng yang menjulang menembus langit atau jala yang keras dan kasar tak tertembus?

Jangan pernah membandingkan seseorang dengan diri sendiri. Bahkan dalam diri seorang yang sudah hampir mati pun, ada pelajaran yang bisa kita petik. (bmkr/1211)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny