Skip to main content

Lelaki : Tahun Baru? Apanya yang Baru?



Saya pernah membaca sebuah buku, usang memang, tentang kematian sejumlah orang di tahun baru perengahan 90-an, disebuah negara di satu belahan planet biru ini. Kematian mereka, tidak banyak didengar orang. Atau mungkin bisa jadi, orang-orang itu yang menutup telinga mereka rapat-rapat dengan nyanyian dan hingar bingar musik pergantian tahun, entah terbakar dan meledak diantara ribuan kembang api yang terbakar.

Orang-orang itu, tidak pernah merasakan kegembiraan meriahnya pesta. Bertaburan semerbak aroma parfum dah hingar bingar musik yang menghentak disela bahana tawa yang memecah malam. Mereka, yang ketika belum mati itu, tidak tahu, bahwa dibelahan dunia yang lain, kembang api dibakar, kemudian menimbulkan bunyi letusan yang disambut dengan sorak sorai dari pengunjung, menandakan tahun berganti. Dengan beriringan doa harapan semoga mendapati kehidupan lebih baik ditahun yang baru. Dengan bekal kebahagaiaan dan optimisme untuk dapat menapakinya dengan semaik baik.

Tapi, apa artinya euporia pesta dan kembang api untuk mereka yang ditembak didepan keluarga sendiri? Yang mati dengan mengenaskan, dengan tidak pernah mengerti, bahwa kalender sudah berganti. Anak yang menangisi bapaknya yang terbujur kaku diterjang peluru, istri yang mendapati suaminya membusuk dijalanan karena tidak bisa menguburkannya. Bahkan doa merekapun dibungkam bunyi mesiu yang berkali-kali meletus.

Inikah tahun baru?
Esensi yang tidak pernah habis diulang sepanjang hidup manusia. Doa-doa yang tidak pernah berhenti menggema berbarengan dengan kembang api dan petasan yang meletus.

Lalu, apanya yang baru?
Kalender sudah pasti baru. Namun tingkah dan pola pikir kita bisakah berubah juga? Membuang yang sudah usang, seperti kalender itu, kemudian mengganti dengan yang baru. Mengganti dengan lembaran-lembaran putih yang siap untuk ditulisi. Kebanyakan kita, memanfaatkan itu sebagai sarana pesta pora. Apa tak pernah mendengar orang-orang yang masih kelaparan yang bahkan lupa, bagaimana enaknya, menggeser kalender mereka sendiri? Atau bahkan, sepertinya, mereka tidak perah punya kalender. (bmkr/0112)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny