Kata orang, yang namanya sabar itu, seharusnya tidak berujung. Dia harus merupakan sebuah siklus tanpa batas. Sabar itu, tak ada ukuran pastinya. Yang jadi pertanyaan, adalah kenapa Tuhan menciptakan rasa sabar itu, seperti menciptakan buih, sedangkan menciptakan benci seperti gelombang samudra..
Saya mengharapkan sebuah peristiwa penting terjadi belakangan ini. Kejadian, yang berharap kepada perubahan sebuah prilaku, perubahan sebuah etos yang selama ini digadang-gadang. Buat apa pujian? Toh, semuanya bumbu dalam sebuah pembicaraan yang sudah hampir mati. Dia bahkan kelihatan seperti pertikaian emosi antara manis senyum dengan muntah tertahan yang akan dihempas begitu menemukan tempat yang pas.
Letih betul hati menunggu permainan itu. Dia mengombang ambing separuh jalan hidup. Menjagakan tidur. Melaparkan makanan. Dia, seperti bius yang melenakan, justru sebelum darah memendarkan racunnya dalam tubuh. Ibaratnya, mencium aroma sajian, dan kenyang sebelum memakannya. Yah, itu permainan emosi, antara sepadan atau tidak, bukan masalah. Apa yang bisa dilawan dari sebuah silsilah yang lama telah menganak? Ketajaman mana yang bisa mengiris kekuatan sebuah pertalian sejarah?
Parahnya, kesadaran itu seperti pedas pada makanan. Datang terlambat. Justru ketika semua hidangan sudah habis, rasa itu muncul. Pedas, memompa adrenalin semakin kuat untuk terus mengunyah. Membakar pembuluh darah, menjadi semangat. Dan mengalir keluar dalam detox keringat sehingga menjadi lebih sehat. Tapi, kesadaran yang lama dicari, justru ada diujung sana. Kecil betul kelihatannya. Tidak bisa membedakan itu dengan sebuah paperclip. Menjadi tanda tanya, ketika mendapatinya justru diterbangkan angin, sedetik sebelum lidah mampu menjilatnya. Takdir kah itu?
Lalu apa gunanya tertawa? Cuma ingin awet muda? (bmkr/0112)
Saya mengharapkan sebuah peristiwa penting terjadi belakangan ini. Kejadian, yang berharap kepada perubahan sebuah prilaku, perubahan sebuah etos yang selama ini digadang-gadang. Buat apa pujian? Toh, semuanya bumbu dalam sebuah pembicaraan yang sudah hampir mati. Dia bahkan kelihatan seperti pertikaian emosi antara manis senyum dengan muntah tertahan yang akan dihempas begitu menemukan tempat yang pas.
Letih betul hati menunggu permainan itu. Dia mengombang ambing separuh jalan hidup. Menjagakan tidur. Melaparkan makanan. Dia, seperti bius yang melenakan, justru sebelum darah memendarkan racunnya dalam tubuh. Ibaratnya, mencium aroma sajian, dan kenyang sebelum memakannya. Yah, itu permainan emosi, antara sepadan atau tidak, bukan masalah. Apa yang bisa dilawan dari sebuah silsilah yang lama telah menganak? Ketajaman mana yang bisa mengiris kekuatan sebuah pertalian sejarah?
Parahnya, kesadaran itu seperti pedas pada makanan. Datang terlambat. Justru ketika semua hidangan sudah habis, rasa itu muncul. Pedas, memompa adrenalin semakin kuat untuk terus mengunyah. Membakar pembuluh darah, menjadi semangat. Dan mengalir keluar dalam detox keringat sehingga menjadi lebih sehat. Tapi, kesadaran yang lama dicari, justru ada diujung sana. Kecil betul kelihatannya. Tidak bisa membedakan itu dengan sebuah paperclip. Menjadi tanda tanya, ketika mendapatinya justru diterbangkan angin, sedetik sebelum lidah mampu menjilatnya. Takdir kah itu?
Lalu apa gunanya tertawa? Cuma ingin awet muda? (bmkr/0112)
Comments
Post a Comment