Jalanan remang. Lampu-lampu berwarna kuning, menerangi jalanan yang masih basah sehabis diguyur hujan sore tadi. Genangan air masih terlihat dibeberapa tempat. Dan berserakan tiap kali tergilas roda-roda kendaraan, yang seakan tidak pernah berhenti.
Saya duduk di bangku paling belakang sebuah bus tua kumuh. Sebelah saya, kosong. Joknya, sudah tidak mulus lagi. Kain putih setengah sandaran yang bertuliskan bacaan doa perjalanan, terlihat kumal. Namun, masih jelas terbaca sederet huruf arab dan sederet huruf latin dibawahnya. Saya, menyerahkan diri pada Tuhan, dalam perjalanan ini. Dari jendela, yang kacanya bisa digeser dengan mudah itu, saya melihat lalu lalang orang-orang. Dalam diam. Semua bergelut dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam berdering lagu india, terdengar nyaring dari bangku depan, diikuti dengan suara halo dan kemudian halo lagi, berulang tiga kali, yang nyaring.
Seorang perempuan, duduk disebelah saya. Sikapnya lugas. Lincah bergerak dan santun permisi diantara kesibukan orang-orang yang berlalu lalang, turun dan naik dari pangkalan, tempat bus tua ini sampai, sekarang. Ditangannya, sebuah buku, The Old Man and The Sea, karya Hemingway, tergenggam kuat. Sejurus kemudian, ia tekun membaca. Bibirnya komat kamit, tangannya sibuk membolak balik halaman demi halaman bacaanya.
"Kasihan betul, nasib pak tua dalam buku ini, " gumamnya lirih. Kemudian melanjutkan membaca.
" Berita baiknya, " kata saya, menyela, " bahwa si pak tua itu mempunyai semangat yang sangat tinggi dan patut untuk dicontoh. Tidak menyerah pada nasib yang menimpanya. Tidak serta merta meninggalkan ikan yang tersangkut dikailnya!"
Dia menoleh, matanya berbinar, " mas baca Hemmingway juga?" tanyanya.
Saya mengangguk. Mencoba membaur.
Percakapan kami berjalan mulus. Hamingway menjadi topik hangat untuk didiskusikan. Dia seperti magnet yang menarik semua energi yang ada dibus ini. Lihat betapa dia begitu pandai mengucapkan kata-kata santun yang lugas, membahas tulisan dalam buku itu. Menyangkal sebagian isinya. Matanya lincah bercerita. Sesekali tertawa.
Dan kami bercerita sepanjang perjalanan, dalam bus tua itu. Melewati menit demi menit, jam demi jam. Sesekali terdiam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian bercerita kembali. Buku, musik, film, dan petualangan.
" Saya turun disini, Bang," katanya, ketika sampai, "mudah-mudahan ada umur dan kesempatan untuk bisa berbincang lagi. Hati-hati dijalan," sambungnya.
Kami bersalaman. Dia bergegas turun dan masih sempat melambaikan tangan, berpisah. Saya masih menunggu untuk sampai dikota tujuan. Wonosobo.
Siapa dirimu? [bmkr/0112]
photo by :photographyblogger.net
Saya duduk di bangku paling belakang sebuah bus tua kumuh. Sebelah saya, kosong. Joknya, sudah tidak mulus lagi. Kain putih setengah sandaran yang bertuliskan bacaan doa perjalanan, terlihat kumal. Namun, masih jelas terbaca sederet huruf arab dan sederet huruf latin dibawahnya. Saya, menyerahkan diri pada Tuhan, dalam perjalanan ini. Dari jendela, yang kacanya bisa digeser dengan mudah itu, saya melihat lalu lalang orang-orang. Dalam diam. Semua bergelut dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam berdering lagu india, terdengar nyaring dari bangku depan, diikuti dengan suara halo dan kemudian halo lagi, berulang tiga kali, yang nyaring.
Seorang perempuan, duduk disebelah saya. Sikapnya lugas. Lincah bergerak dan santun permisi diantara kesibukan orang-orang yang berlalu lalang, turun dan naik dari pangkalan, tempat bus tua ini sampai, sekarang. Ditangannya, sebuah buku, The Old Man and The Sea, karya Hemingway, tergenggam kuat. Sejurus kemudian, ia tekun membaca. Bibirnya komat kamit, tangannya sibuk membolak balik halaman demi halaman bacaanya.
"Kasihan betul, nasib pak tua dalam buku ini, " gumamnya lirih. Kemudian melanjutkan membaca.
" Berita baiknya, " kata saya, menyela, " bahwa si pak tua itu mempunyai semangat yang sangat tinggi dan patut untuk dicontoh. Tidak menyerah pada nasib yang menimpanya. Tidak serta merta meninggalkan ikan yang tersangkut dikailnya!"
Dia menoleh, matanya berbinar, " mas baca Hemmingway juga?" tanyanya.
Saya mengangguk. Mencoba membaur.
Percakapan kami berjalan mulus. Hamingway menjadi topik hangat untuk didiskusikan. Dia seperti magnet yang menarik semua energi yang ada dibus ini. Lihat betapa dia begitu pandai mengucapkan kata-kata santun yang lugas, membahas tulisan dalam buku itu. Menyangkal sebagian isinya. Matanya lincah bercerita. Sesekali tertawa.
Dan kami bercerita sepanjang perjalanan, dalam bus tua itu. Melewati menit demi menit, jam demi jam. Sesekali terdiam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian bercerita kembali. Buku, musik, film, dan petualangan.
" Saya turun disini, Bang," katanya, ketika sampai, "mudah-mudahan ada umur dan kesempatan untuk bisa berbincang lagi. Hati-hati dijalan," sambungnya.
Kami bersalaman. Dia bergegas turun dan masih sempat melambaikan tangan, berpisah. Saya masih menunggu untuk sampai dikota tujuan. Wonosobo.
Siapa dirimu? [bmkr/0112]
photo by :photographyblogger.net
Comments
Post a Comment