Skip to main content

Pada Sebuah Rel Kereta Tua

Sebuah surat elektronik mampir di inbox saya, beberapa waktu yang lalu. Sebuah nama asing, muncul sebagai pengirimnya. Dengan subjek yang sangat memuat saya bertanya, apa benar surat ini ditujukan buat saya. Sedang, saya tak pernah tau, siapa pengirim surat elektronik itu. Penasaran, akhirnya saya buka juga.

From: Seorang Kawan <kawanmu@email.com
Date: Mon, 09 Jan 2012 21:12:30 -0800
To: akulelaki@email.com
Subject: Serpihan Kertas di Bebatuan

Dear Pengembara 
Bagaimana dia tau nama saya? 
Saya tidak pernah mengenal alamat email itu. 

Pernahkah terpikir oleh mu untuk pergi jauh mengembara? Melintasi banyak benua, singgah di banyak negara, dan menorehkan catatan pada tiap tempat yang kau kunjungi. Kemudian mengabarkannya kepada dunia. Bahwa kehidupan itu masih ada. Bahwa, kerahamtamahan itu masih ada. Bahwa, biru langit dan hijau nya gunung serta pesawahan masih bukan hanya cerita? 

Pengembara, kau tau, kita pernah bertemu. Mungkin kau yang lupa siapa aku. Namun aku, tak akan pernah lupa. 

Kita pernah punya mimpi bersama. Menuliskan kata-kata, dan harapan kita pada selembar kertas putih, kau menulisnya lebih dari dua paragraf, ketika itu, kemudian menyobeknya kecil-kecil dan melarungnya dalam deras sungai diantara hijau pesawahan. Kau berteriak nyaring, yang mengejutkan burung-burung pemakan padi, hingga mereka beterbangan dalam gerombol besar, meliuk-liuk serupa dengan awan. 
"Jika sampai kelaut nanti, katakan pada karang dan ikan pari, aku merindu mereka" itu katamau dulu, Keras. Keras betul kau berteriak kala itu. Ingat?? Aku tertawa terbahak melihat mu yang semangat betul, berteriak kepada serpihan kertas-kertas kecil yang semakin menjauh mengikuti arus air. Ketika beberapa diantaranya, tersangkut di batuan, kau masih tetap berteriak, "Dan kau yang sudah menemukan pilihanmu, berbahagialah. Ujung sana belum tentu semenyenangkan batu yang kau tempeli".. Ingat?? 

Saya termenung. Mencoba mengingat ingat, kejadian itu. Namun, masih belum bisa menemukan peristiwa penting itu dalam tumpukan memori otak yang sudah terisi lebih dari tiga puluh tahun. Seperti buku sejarah, yang kemudian diceritakan kembali, dan si perapal tak pernah tahu betul, kejadian yang sebenarnya. Siapa kau? Dimana saya ketika itu? 

Pengembara, Jangan bingung. 
Mungkin kau sekarang bertanya-tanya tentang siapa aku sebenarnya. Atau, bertanya-tanya, kapan peristiwa yang aku ceritakan diatas terjadi. Baiklah, aku akan menceritakan kepadamu, tentang sebuah telur asin dan sebutir anggur, yang hampir tak bisa kita nikmati ketika itu. 

Jalanan berbatu kapur. Hutan karet peninggalan kolonial Belanda yang terlihat sepi dan angker. Kita nyaris tak berkata sepatahpun. Bukan karena kita memang tak punya bahan bicara, tapi katamu, kita harus fokus. Takut perampok. Takut jebakan kolonial masih terpasang, takut ranjau jaman penjajahan masih aktif, dan masih banyak lagi. Namun, aku tau. Kita sama-sama takut hari itu. Jalanan itu, berujung pada sebuah rel kereta tua. Ke kanan dan ke kiri, terlihat sama jauhnya. Kita memutuskan ke kanan, karena, kata mu, kanan selalu membawa kebaikan. 

Rel kereta membentuk perspektif dari pandangan kita. Lebatnya hutan karet, membuat kita hanya melihat cahaya putih dikejauhan. Seperti mulut goa. Atau benarkah kita memang sedang berada dalam goa? Yang pasti, kita sama-sama takut. Sesaat, pada waktu kaki benar-benar tak bisa digerakkan karena letih menyusur jalan kereta yang seolah tak berujung, kita memutuskan berhenti. 

Dalam ransel, hanya ada sebungkus nasi, separuh botol air minum, sebutir telur asin, dan sebutir anggur. Kita menatap bekal kita dengan nanar. Namun, masing-masing dari kita seperti tak mau memulai memakannya. Kau menyuruh aku makan duluan. Dan aku memintamu, demikian. Kita terbahak, kemudian memakan nasi itu bersama. Membelah telur asin menjadi dua, sebutir anggur menjadi dua juga. Dan ketika milikmu ternyata jatuh ketanah becek, hingga tak mungkin untuk dimakan, aku bersikeras untuk membagi anggur ku kepadamu. 

Ingat?? 

Aku merindumu, seperti aku merindu hutan karet dan jalan kereta yang seperti tanpa ujung ketika itu. (masihkah aku) sahabatmu? 

Dari Aku di jauh. 

bersambung (bmkr/0112) 









image : http://www.layoutsparks.com/1/152040/train-tracks-love-rail.html

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny