Ternganga.
Seakan tak percaya membaca surat elektronik pada layar komputerku. Meski tak terlalu ingat pertistiwa pertama, ketika saya melarungkan serpihan kertas-kertas kecil dalam deras air sungai penuh batuan, namun peristiwa kedua tak akan pernah saya lupa.
Hari baru saja selesai hujan. Langit masih bermuram dengan warnanya yang kelabu. Daunan pohon karet yang basah, beraroma harum. Meneteskan sisa-sisa air hujan yang menempel padanya ke tenda kecil kami. Ini hari kelima perjalanan kami, setelah melintas sebuah bukit kapur yang panas dan terjal.
Hutan karet ini, seperti tanpa ujung. Sore menjebak kami untuk singgah dan bermalam dalam dekap nya yang kelabu.
Saya hampir menangis ketika itu. Tak seorang pun yang kami temui di dalam hutan karet peninggalan Kolonial Belanda ini. Kemana orang-orang yang bekerja sebagai penyadap getah. Jika pejalanan kami dimulai hari sabtu, berarti ini hari rabu. Dan seharusnya orang bekerja pada hari ini.
Jalanan itu, penuh batu kapur dan belukar. Saya tidak yakin, apakah ada orang yang pernah kesini, dalam waktu dekat sebelum kami.
Kami bertatapan. Sejurus kemudian melangkah cepat, nyaris berlari. Mengharap bisa keluar dalam kungkungan hutan karet itu. Hingga diujung jalan, senang betul ketika kami menjumpai rel kereta tua penuh karat. Kanan ke barat, kiri ke timur. Kami meneruskan ke barat.
Ah, hari itu, saya menangis, ketika sore menghampiri. Lebih dari empat jam menyusur rel kereta api itu, namun ujung nya nampak masih jauh betul. Apakah ini lorong waktu? pikir saya. Bagaimana jika ada rampok?
Di tengah perjalanan, kami berhenti untuk makan, sisa bekal yang masih tersisa. Jika tidak bisa keluar dan bertemu orang hari ini, entah berapa lama kami harus puasa.
Dia meletakkan tangannya di punggung ku. Berkata pelan, "Tenang saja, semua akan baik-baik saja." Mengusap kepala saya dan mengajak melanjutkan perjalanan.
Hujan masih turun rintik-rintik. Dan hari semakin gelap dalam lingkung pohonan karet yang lebat. Bunyi binatang malam terdengar nyaring memekakkan telinga. Dikejauhan, lolongan anjing terdengar. Kami berjalan semakin cepat. Saya tahu, dia juga takut. Kami adalah dua orang takut yang sama-sama saling mengisi.
Ketika gelap, kami memutuskan berhenti dan mendirikan tenda kami kembali. Bermalam memulihkan tenaga. Tanpa makanan. Lapar dan letih menidurkan kami hingga pagi, di pinggir rel kereta.
Lebih tengah hari, kami keluar dari rel kereta itu, dan menukan jalan aspal berujung tiga. Ini, salah, kata saya. Seharusnya, kami mengambil jalan yang ke timur, bukan ke barat. Namun, aspal selalu bisa jadi harapan. Ini adalah tiket kami keluar.
bersambung...
(bmkr/0112)
image : by @boimakar
Comments
Post a Comment