Sederet petualangan dalam hidup, seperti rentetan peluru yang ditembakkan dari senjata api. Menerus, mengeluarkan bising, tanpa jeda. Menuju kesatu tujuan yang sering kali bahkan tidak pernah kita tuju sebetulnya. Nyasar, istilah yang seringkali diucapkan orang-orang. Tapi, apakah hati seperti peluru? Nyasar juga, ketika menunggu sesuatu?
Mengenal begitu banyak orang dalam hidup, adalah anugrah yang tidak pernah terbayang sebelumnya dalam kehidupan saya. Bermacam kalangan. Selebritas, politisi, CEO, pendaki gunung, penyelam, tukang sayur, tukang becak, ojek, gelandangan di bawah jembatan tol, teman berbagai komunitas, wartawan, dan masih banyak lagi. Masing-masing, menempatkan diri pada porsi mereka dengan sekat jelas. Dan saya, harus bisa-bisa menjadi bunglon, untuk bisa membaur. Seringkali, tempat "nongkrong" mereka berbeda. Yang politisi misalnya, lebih senang nongkrong di bar mewah remang, dengan gadis-gadis ber rok mini seksi yang duduk dipangkuan mereka. Yang wartawan, hobi nongkrong di kedai kopi sampai tutup. Sementara yang komunitas, lebih banyak menghabiskan waktu dialam.
Porsi ku, bisa jadi pendengar, seringkali. Menyaksikan mereka berdebat tentang topik panas yang bergulir di negara ini. Spekulasi-spekualasi politik yang banyak tidak saya mengerti dengan baik. Dan ada kalanya, saya menjadi sangat aktif. Ketika penerimaan itu, datang dengan tulus terhadap semua ucapan.
Dari sekian banyak "relationship" yang terjadi dalam hidup, beberapa adalah ikatan special yang melibatkan hati dan perasaan. Hati memilih, dan perasaan membujuk untuk bisa tampil maksimal dan mendominasi dalam hubungan itu. Tidak berarti menjadi yang paling super, karena mendominasi, namun anggap saja itu mendominasi segala sikap dan keseharian menjalankan aktifitas.
Tiba-tiba, ketidaksengajaan itu berujung pada perasaan takut. Takut mengecewakan. Takut salah. Takut menentukan langkah kedepan. Semua seperti samar. Mondar-mandir didepan jalan sempit dibenak, yang seringkali buntu, dan mengharuskan kembali kejalan awal, untuk menuju jalan yang itu lagi. Buntu lagi. Semakin lama, takut itu semakin besar. Pertemuan membuat takut berpisah. Mencintai, membuat takut kecewa. Menyayangi, membuat takut tak bisa diandalkan.
Pelan-pelan, semuanya bermuara. Membentuk kubangan yang meluber. Melibas akal sehat. Saya takut menjadi saya! (bmkr/0312)
pic of : http://cdn7.steveseay.com/wp-content/uploads/2011/05/hiding.jpg
Comments
Post a Comment