Skip to main content

Lelaki : Antara Kamu, Saya dan Mandalawangi

Mulanya, tidak percaya rasanya bisa ada tempat itu. Sebuah alun-alun sabana tidak terlalu luas, penuh bunga-bunga putih kekuningan, sungai kecil membelah ditengah, dengan air yang lebih segar dari air kemasan manapun.

Tempat ini keramat. Konon almarhum Soe Hok Gie, yang belakangan ini begitu membahana namanya, karena sebuah film, mampir kesini, menghempas galaunya. Konon, tempat ini menewaskan banyak pendaki gunung, yang tegoda untuk bisa menikmati siraman matahari pagi pertama yang sendu.

Perjumpaan saya pertama dengan Mandalawangi, ketika saya begitu penasaran, melihat sebuah photo yang ditunjukan seorang kawan pendaki. Dia yang merupakan relawan di salah satu taman nasional indonesia, menjembreng beberapa photo yang menawan. Semburat awan, dengan latar langit biru yang elok, serta kabut tipis membungkus pohon-pohon yang meremang ditimpa cahaya pagi hari. Sungai kecil yang berair bening, dan rumputan coklat yang masih basah oleh embun. Semuanya nampak sempurna. Beberapa kuntum edelweis mencuat di latari oleh panorama gunung Salak nun jauh disana. Celah itu, begitu damai.

Saking penasarannya, saya memutuskan mengajak beberapa orang kesana. Percobaan pertama saya gagal. Kemudian, berhasil meskipun tidak menginap. Kami hanya naik turun saja dan bermalam di Kandang Badak. Sudah lebih sepuluh tahun yang lalu. Dari semenjak itu. Mandalawangi, buat saya adalah sebuah kubangan besar, tempat saya berendam. Menyegarkan badan yang letih berjalan. Menikmati keheningan malam yang mempesona. Menyaksikan bulan dan gemintang yang selalu meremangkan bulu roma.

Entah, barapa kali saya kesini. Menginajakan kaki dirumputan yang terlihat tidak usang dimakan jaman. Nampaknya masih yang itu-itu saja. Menyaksikan malam merambat pelan diantara pohonan yang berdiri tegak kedinginan. Saya dikurung badai. Bermandi matahari terbit. Menyaksikan matahari tenggelam ditelan cakrawala. Melihat elang yang terbang lebih tinggi dari angan-angan saya ketika itu. Kedinginan karena hujan yang menyiram tanpa henti.

Saya pernah berdua saja di sini, dengan dia. Menyaksikan Gunung Salak yang lambat laun menghilang diterjang kabut. Bicara ngalor-ngidul tanpa sekat. Mendekap erat tubuhnya, ketika  gerimis turun sementara langit cerah. Minum kopi dingin yang nikmat.

Mandalawangi, saya akan kesana lagi. Demi kamu. Demi Dia (bmkr/0612)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny