Skip to main content

Lelaki : Percakapan Sore

Sore itu, kami kumpul diruang tengah kami yang sekaligus merangkap ruang nonton tipi. Tidak ada kursi dirumahku. Semua lesehan. Bermalas-malasan diatas kasur yang tidak baru lagi. Ini titipan seorang teman yang memutuskan pindah ke luar Jawa, karena pekerjaannya. Kami masih sering berkomunikasi, dengan bahan obrolan "norak" seputar kasur titipan itu.

Emak, ada ditengah-tengah kami. Usianya yang sudah tidak muda, memandang anak-anaknya satu-satu. Mengacak rambut ku yang tidak bersisir jika di rumah.

" Sering kali, orang bicara tentang kamu, Nak. Tentang pekerjaan mu yang mati-matian kau bela, tapi tak  nampak hasilnya. Tentang kau, yang diusiamu sekarang masih membujang," katanya lirih.

" Siapa orangnya," aku menyahut pelan.
" Siapapun orang nya tidak penting. Dia bicara langsung ke Emak,"

Hati saya berdesir. Emosi itu menumpuk jadi satu. Ingin rasanya menghajar orang yang bicara langsung didepan Emak karena saya. Saya terdiam. Meredam emosi yang makin lama makin membuncah.

" Apa yang kamu takutkan?" lanjut Emak.
" Maksudnya?"
" Iya, apa yang kamu takutkan, sampe belum menikah di umur mu sekarang. Lihatlah itu, ponakan-ponakan dan sepupu mu rata-rata sudah menikah. Punya anak, membangun rumah tangga. Meski tidak semua nya berhasil, tapi mereka sudah mencoba. Kau, bahkan terlihat tidak mencoba sama sekali," katanya.
" Emak lupa?" kataku kemudian. " Saya pernah mencoba dan gagal. itu berat buat saya. Meyakinkan diri untuk menerima kekuarangan-kekurangan diri sendiri pun, saya masih belum sepenuhnya mampu. Apalagi harus menerima yang lain. Saya khawatir, kalo saya ternyata tidak hidup dalam batas wajar saya. Saya ada diatas kehidupan saya sebenarnya. Rasanya, pengen turun di garis batas yang wajar, tapi saya belum dapat caranya," lanjutku.

Kami terdiam.

" Untuk pekerjaan, saya justru tidak melihat cacatnya. Saya malah sedih, kalo Emak nangis nggak punya beras, atau minyak, atau listrik mati karena belum kita bayar. Biarlah mereka punya ini itu, kendaraan, rumah dan lain-lain. Yang perlu kita benahi, hati kita, Mak. Bagaimana saya selama ini bertahan dengan naik angkutan umum, karena saya menerima. Saya belajar Ikhlas."

" Kita hanya berusaha mencari jalan terbaik menjalani hidup yang di Ridhoi Tuhan. Bukan berkehendak diluar kemampuan kita. Tuhan tidak akan memberi kita lebih, kalau kita merasa semua yang ada pada diri kita itu kurang. Makanya, banyak o rang yang sering kali ribut mengenai hartanya, karena dia lupa, dia sudah diberi banyak."


Maafkan saya, Emak. Belum bisa dibanggakan (bmkr/0612)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny