Kawan saya yang semasa SMP dulu adalah seorang "berandalan", tukang bolos, tukang palak, tukang mabok, merokok dan sederet kejahatan masa sekolah lainnya, tiba-tiba datang dihadapan saya, berdasi biru muda, dengan kemeja dan jas abu-abu tua, menjinjing iPad. Kaca matanya, "nongkrong" dihidungnya yang memang mancung. Dulu, dia hitam dekil, sekarang, necis. Parfumnya saja, bukan murahan. Entah dibeli di Amerika atau Eropa. Entahlah.
Dia menjabat sebagai salah seorang Manager pada sebuah BUMN ternama di Indonesia. Pangling? Tentu saja iya. Saya bahkan hampir bertanya, siapa dia. Namun, beberapa sifat nya memang tidak berubah. Senyumnya, yang selalu nakal. Atau bicaranya yang keras dan nyaring.
Obrolan kami, semakin hangat dari menit-kemenit. Dia bercerita tentang betapa bobroknya sistem pemerintahan di Indonesia. Korupsi disegala bidang, bahkan di kantornya sendiri. Namun, berkali-kali dia meyakinkan saya, bahwa dia tidak terlibat. Kemudian tentang aset-aset property nya di beberapa tempat di Indonesia. Keinginannya untuk membeli salah satu pulau di Kalimantan, yang akan dia bangun resort dan tempat peristirahatan. Bahkan menawari saya sebagai pengelola tempat itu, mengingat hobi saya sekarang ini.
Namun, air mukanya berubah ketika dia menceritakan masalah hidupnya diluar pekerjaan. Istrinya, selingkuh dengan orang lain, dan kemudian dia ceraikan. Dua anaknya, ikut dengan mantan istrinya, dan hanya sekali dalam beberapa bulan dia boleh ketemu. Hanya, uang jajan harus rutin dia kirim. Dia menduda, dan mengolok saya terus yang masih membujang. Dihati saya, mana mungkin saya terima nasihat perkawinan dari seorang yang rumah tangganya morat-marit. Masuk akal kan? Sepanjang kesendiriannya, dia lebih banyak bekerja dan bergaul dari cafe ke cafe. Selain untuk lobby-lobby bisnis, juga untuk "mencari jodoh" katanya seraya mengangkat dua telujuknya ke depan muka membentuk tanda petik. Artikan sendirilah..
Di hari yang lain, saya diundang oleh seorang kawan saya semasa SMU. Sekarang dia petani. Dia memang tidak seperti orang kabanyakan. Sawahnya banyak. Milik orang tuannya, yang sekarang diwariskan kepada dia sebagai anak satu-satunya. Ongkang-ongkang kaki saja dia, karena banyak pegawainya yang menjadi buruh tani untuk sawahnya. Dia, mengaku kalau dia petani.
Hari itu, kami ngobrol tentang pangan. Politik pupuk. Bibit padi yang semakin sulit. Monopoli air sungai yang tercemar limbah-limbah pabrik puluhan kilo dari sawahnya. Namun, dia bersyukur, katanya, hujan belum berbayar di Indonesia.
Istrinya, sedang mengandung anak ketiga mereka. Yang pertama, sudah sekolah SD, dan yang kedua, masih di playgroup. Meski kadang-kadang dia mengeluh tentang uang sekolah yang terlalu mahal, dia bersyukur, tidak harus membeli beras untuk makan sehari-harinya.
Saya tidak tau, mana yang lebih sukses. Saya tidak pernah berfikir bahwa kesuksesan adalah pekerjaan mapan disebuah BUMN terkemuka dengan istri yang meninggalkan saya, dan anak-anak yang hanya bisa ditemui sekali dalam tiga bulan misalnya. Atau kesuksesan karena menjadi "juragan" sawah dari hasil warisan orang tua yang kemudian kita kelola dengan istri manis yang setia. Entahlah! (bmkr/0612)
Comments
Post a Comment