Skip to main content

Lelaki : Impian Bocah

photo by @boimakar
Disekolah dasar, seorang guru perempuan, berdiri dengan anggun, memegang penggaris kayu berwarna cokelat muda. Berbaju safari yang licin sekali. Nampaknya, bekas distrika dengan sangat teliti. Bukan oleh dia sendiri, pastinya, karena saya yakin, bahwa dia tidak bisa menyetrika dengan sebaik itu. Produk instan masa kini yang nampaknya, sangat kentara. Pembantunya, atau malah laundry service yang berongkos sangat mahal. Dari penampilannya, dia memang bukan guru yang biasa-biasa saja, bukan dari golongan Umar Bakrie. Mungkin dari golongan yang lain.

Bertanya dia, sang guru perempuan itu, -kenapa setiap guru harus disebut "sang" dan saya menghapus kata "si" di depan tadi? Mungkin karena alasan estetika kita yang kental sekali. Tentang cita-cita kepada murid-murid kelas empat. Hendak jadi apa kelak, jika sudah besar nanti. 

Antusias, murid-murid itu menjadi gaduh. Suara tawa dan gumam dibarengi dengan pukulan penggaris kayu ke meja. Suara lantang sang guru perempuan, membungkam kegaduhan sementara. Satu-satu, murid kelas empat itu menyebutkan impian mereka ketika dewasa. Jawabanya, standar saja, seperti sudah diduga memang sebelumnya. Dokter, tentara, polisi, pejabat, presiden, menteri, wartawan, guru. Dan masih ada beberapa yang lain. Semuanya, merupakan gambaran kemapanan dimata anak-anak polos beranjak dewasa itu.

Namun, seorang murid menjawab dengan sangat mengagumkan. Saya ingin menjadi diri saya saja. Tidak mau manjadi yang lain. Sang guru perempuan penasaran, apa dia tidak mau jadi seperti yang lainnnya. Dan si murid kekeuh menjawab tidak mau. Dalam mata polosnya, semua profesi itu, tidak murni menjadi dirinya sendiri. Semua profesi itu hanya kedok memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan kesenangan pribadi. Guru, mendapatkan uang dengan mengajar, dan kadang tidak ikhlas, polisi lebih parah lagi, apalagi pejabat.

Dari mata si bocah, dia suka menjadi anak-anak. Meski dari keluarga yang tidak mapan, tapi semuanya berbanjir kasih sayang. Dia main, ketika dia mau main. Tidur ketika dia ngantuk kapanpun. Dan dia bisa bernyanyi sesuka hati diramahnya tanpa ada orang berteriak membentak untuk minta dia berhenti menyanyi dengan paksa.

" Kamu tidak mau punya uang banyak? Tidak mau punya rumah dan mobil mewah?" kata guru perempuan tadi dengan antusias.

Si bocah tersenyum dan menjawab lugu. " uang memang bisa membeli apapun. Tapi kebahagiaan itu datangnya dari hati, bukan? Kalau hatinya aja udah nggak bahagia, mana bisa kita senang dengan semua kemewahan dan uang kita.." katanya.

Lebih banyak lagi, dia bercerita tentang berita-berita koran, ketika banyak pejabat yang korupsi, menghabis kan uang yang bukan haknya. " apa uang mereka masih tidak cukup, sehingga harus mengambil uang orang lain?" katanya. Dan ketika dia membaca tentang perseteruan dua orang karena berebut harta warisan hingga masuk ke pengadilan karena saling serang, hampir membunuh, " apakah orang sudah tidak ingat dengan saudaranya, hingga hartanya lebih penting dari semua yang sudah dia punya?"

Sang guru perempuan, masih tidak percaya. Dia masih menganggap si bocah tidak betul.  Masih menganggap sibocah ini aneh.

" Apakah baju yang ibu pakai ini, dibeli dengan uang halal? Bukan hasil korupsi atau menipu? " katanya terakhir kali. (bmkr/0113)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny