Skip to main content

Lelaki : Pada Sebuah Triangulasi

photo by @boimakar
Mata ini masih sangat mengantuk. Mulut menguap berulang-ulang kali. Membuka lebar menghembuskan kondensasi udara dingin yang keluar bagai asap putih dari dalam kerongkongan. Kaki yang terbungkus kaos kaki dingin, masih menasakan beku. Meski tidak sedahsyat hari kemarin, namun basah hujan yang mengguyur semalam, lumayan membuat gemeretak gigi dan mengkerutkan jemari kaki.

Berkali-kali, saya meniup telapak tangan dengan hembusan nafas dalam yang lebih hangat. Menggosok kedua telapaknya, kemudia meniupnya kembali. Sejurus kemudian membuka lebar, pintu tenda yang basah dan berdiri tidak sempurna dalam miring tanah. Hujan semalam, memaksa perjalanan ini harus berhenti disini. Dalam tanah tajakan miring ditepi sebuah jurang dalam dan pohon besar yang tumbang. 

Kemarin, rasanya nyaman betul kasur buluk yang ada didalam kamar. Meski berdebu, dan semerawut nya tumpukan buku, gantungan baju dan langit-langit yang selalu berisik oleh larian tikus-tikus bercengkrama. Mata sulit terbuka, hangat selimut dan terpaan sinar matahari yang masuk seolah tak terhirau.

Hari ini semuanya berubah. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, dalam guyuran hujan dan penerangan kilat dilangit. Sekarang sudah waktunya untuk diam. Batang pohon tumbang ini, seperti dewa yang menyelamatkan. Ketika ketemu dia, semalam, rasanya sesak didada hilang. Terburu-buru, tenda didirikan, masih dalam siraman gerimis yang imut-imut, turun dari langit. Sesekali kilat ter;ihat dikejauhan membelah langit. Seperti jembatan, yang menghubungkan bumi dan langit. 

Tidur. Adalah pilihan selanjutnya. Setelah, sebutir apel dan sebatang coklat, beberapa teguk air dingin masuk ke tenggorokan. Doa penutup malam itu, semoga besok pagi, semua akan baik-baik saja. Dan saya masih bisa melihat triangulasi yang sudah tinggal sejengkal mata.

Dalam kantuk dan dingin,ketika pintu tenda terbuka. Langit cerah benderang oleh gemintang. Entah lari kemana gerimis dan petir yang semalam bersahutan. Kilat mungkin sudah letih menjembat air dari langit kebumi. Diatas saya, sebuah tenda berdiri, nyaris roboh. Lebih semerawut dari tenda saya. Dan jauh dibawah saya, beberapa lampu temaram dimainkan angin. Dan kumpulan terang seperti kunang-kunang, lebih jauh ada didasar.

Saya bergegas. Merapikan semua bawaan, maju membelah gelap. Menenggak sekotak air sari kacang hijau. Dan membungkus badan dengan jaket. Memanggul semua peralatan, menjauhi pokok pohon tumbang yang masih diam disana. Patok itu sudah semakin dekat. Itu tujuan saya, hari ini. Dalam remang subuh yang belum lagi adzan. Saya harus mengejar adzan disana, gumam saya. 

Beberapa tahun yang lalu. Di titik ini, pada ketinggian lebih dari 2500-mdpl, saya bertemu dia. Dia biasa saja. Mana ada orang waras yang mendaki dengan hanya menggunakan tas ransel anak sekolah. Mengganti sleeping bag dengan sarung. Mengganti makanan dengan mie instan yang dimasak dengan kaleng bekas kemasan susu kental manis, dan membawa seikat sawi, hasil pemberian petani yang ada dibawah. Dia tidak terlalu ramai, tidak pula pendiam. Tawaran kopinya membuat saya berhenti untuk singgah dan menemaninya ngobrol ngalor ngidul tanpa ujung. Kadang tertawa bebas, kemudian bicara lirih seperti membaca puisi. Tapi matanya tak pernah diam. Seperti halaman  buku yang terus menerus dibalik hingga tamat. LIncah menafsirkan setiap yang saya ucapkan.

Larut malam dia pamit tidur. Menawari saya kopi lagi, karena disangka akan berjaga malam itu. Tapi saya tolak. Karena letih membuat saya ikut menggelar alas tidur, membentang flysheet dan merebahkan diri dalam dekapan sleeping bag saya, beberapa langkah dari tempatnya tidur. Api unggun itu, sudah hampir padam. Entah dari mana kayu besar dalam ketinggian ini. Apa dia membawa nya dari bawah, saya tak tau pasti. Semua seperti sudah pada tempatnya.

Dia meninggalkan saya esok paginya. Entah turun atau naik, namun ada segelas kopi yang masih hangat dalam gelas saya. Dan tulisan ditanah, "subuh di trangulasi" .. hanya itu. Dan kami tak pernah bertemu kembali setelah itu.
photo by @boimakar
photo by @boimakar

Hari itu, saya tidur disitu lagi.Dan menuju triangulasi, mengejar subuh. Kawan, siapa engkau? Apa subuh ini, kau masih ada bersujud dalam dekap dingin, udara diatas batuan triangulasi itu?


Kabari saya, dan biarkan saya ikut menyembah Tuhan yang kau sembah di semburat subuh. (bmkr/0113)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny