Lembah itu terasa sepi. Sehingga angin sepoi yang berhembus pelan pun terasa bagai riuh deru kereta api. Membisingkan. Saya bisa mendengar nyanyian burung, yang kesepian di ujung ranting cemara, serta dengus nafas seekor tikus yang lalu lalang melintas. Dalam gerak-gerik yang di buat sehening mungkin. Rumputan yang kering, bergesekan dimainkan angin. Menciptakan irama merdu savana yang kering di musim ini. Warnanya kontras kecoklatan. Langit membiru. Awan lincah menari dalam siraman matahari sore yang sudah hampir lewat.
Cangkir kopi itu masih terisi setengah. Hampir dingin. Keharuman aromanya memudar seiring dengan panas yang pelan dan pasti menguap bersama udara kosong. Mungkin, dia sudah sampai ke awan putih lincah di atas itu. Uapnya sudah bertemu dengan kawan-kawan yang lain, sesama uap dari gelas kopi yang ditinggalkan peminumnya. Kemudian bergerombol untuk turun menjadi hujan dengan bentuk yang lebih jernih. Dia, sang Cangkir itu, mematung. Seperti tidak tergerus oleh detik jam yang merangkak pelan menuju gelap. Sementara kerajaan siang di ganti dewi malam yang anggun.
Masih disitu, menyisakan setengah isinya, yang bergelombang kecil dipermainkan angin lembah yang kaku dan dingin.
Duduk disebelah sang Cangkir yang mematung itu, sesosok lelaki yang tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitarnya. Membiarkan lalat-lalat yang hinggap dibadan. Atau semut-semut yang mengerubungi ujung sepatunya. Membiarkan, tawon yang dari tadi terbang mendengung dalam jarak dekat. Meski suaranya seperti pesawat terbang yang memekakkan telinga. Namun, sigap dia menghalau lalat yang akan singgah dalam sang Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah itu. Dipandanginya berkali-kali, seolah khawatir jika isinya, akan berkurang dari setengah karena ulah si lalat-lalat tadi. Dia menjaganya seperti pertapa yang menjaga pusaka. Menjaganya seperti ibu yang menyaksikan anaknya tidur. Ditangannya, tergenggam Cangkir yang lain.
Si Lelaki itu, memandang lurus kedepan. Horizon menguning dan bertambah gelap. Pohonan dan rumputan, seolah bersalam untuk malam yang datang dalam sekejap. Semua menjadi semakin sunyi. Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah seperti tidak perduli dengan malam yang akan datang. Air gelap dalam badannya, bergoyang riang dimainkan angin. Semakin dingin ia, dan semakin pekat terlihat karena gelap.
" Aku tahu, dia akan datang. Buka begitu, wahai Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah?" katanya lirih kepada Cangkir itu. " Tuan mu, akan datang kembali kepadamu, dan menghirup habis kopi itu." lanjutnya. Meletakkan Cangkir yang Lain itu,
Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah itu membisu. Seolah tidak peduli. Lelaki itu tersenyum. Dan menunggu hingga pagi. Namun, Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah itu, tetap seperti kemarin. ( bmkr/0213)
Comments
Post a Comment