Skip to main content

Lelaki : Harap Pada Secangkir Kopi


Lembah itu terasa sepi. Sehingga angin sepoi yang berhembus pelan pun terasa bagai riuh deru kereta api. Membisingkan. Saya bisa mendengar nyanyian burung, yang kesepian di ujung ranting cemara, serta dengus nafas seekor tikus yang lalu lalang melintas. Dalam gerak-gerik yang di buat sehening mungkin. Rumputan yang kering, bergesekan dimainkan angin. Menciptakan irama merdu savana yang kering di musim ini. Warnanya kontras kecoklatan. Langit membiru. Awan lincah menari dalam siraman matahari sore yang sudah hampir lewat. 

Cangkir kopi itu masih terisi setengah. Hampir dingin. Keharuman aromanya memudar seiring dengan panas yang pelan dan pasti menguap bersama udara kosong. Mungkin, dia sudah sampai ke awan putih lincah di atas itu. Uapnya sudah bertemu dengan kawan-kawan yang lain, sesama uap dari gelas kopi yang ditinggalkan peminumnya. Kemudian bergerombol untuk turun menjadi hujan dengan bentuk yang lebih jernih. Dia, sang Cangkir itu, mematung. Seperti tidak tergerus oleh detik jam yang merangkak pelan menuju gelap. Sementara kerajaan siang di ganti dewi malam yang anggun. 

Masih disitu, menyisakan setengah isinya, yang bergelombang kecil dipermainkan angin lembah yang kaku dan dingin.

Duduk disebelah sang Cangkir yang mematung itu, sesosok lelaki yang tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitarnya. Membiarkan lalat-lalat yang hinggap dibadan. Atau semut-semut yang mengerubungi ujung sepatunya. Membiarkan, tawon yang dari tadi terbang mendengung dalam jarak dekat. Meski suaranya seperti pesawat terbang yang memekakkan telinga. Namun, sigap dia menghalau lalat yang akan singgah dalam sang Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah itu. Dipandanginya berkali-kali, seolah khawatir jika isinya, akan berkurang dari setengah karena ulah si lalat-lalat tadi. Dia menjaganya seperti pertapa yang menjaga pusaka. Menjaganya seperti ibu yang menyaksikan anaknya tidur. Ditangannya, tergenggam Cangkir yang lain.

Si Lelaki itu, memandang lurus kedepan. Horizon menguning dan bertambah gelap. Pohonan dan rumputan, seolah bersalam untuk malam yang datang dalam sekejap. Semua menjadi semakin sunyi. Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah seperti tidak perduli dengan malam yang akan datang. Air gelap dalam badannya, bergoyang riang dimainkan angin. Semakin dingin ia, dan semakin pekat terlihat karena gelap. 

" Aku tahu, dia akan datang. Buka begitu, wahai Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah?" katanya lirih kepada Cangkir itu. " Tuan mu, akan datang kembali kepadamu, dan menghirup habis kopi itu." lanjutnya. Meletakkan Cangkir yang Lain itu, 

Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah itu membisu. Seolah tidak peduli. Lelaki itu tersenyum. Dan menunggu hingga pagi. Namun, Cangkir Kopi yang Masih Terisi Setengah itu, tetap seperti kemarin. ( bmkr/0213)


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny