Skip to main content

Lelaki : Aurora, Sebuah Nama - 3 (Selesai)



http://www.wnrn.org/wp-content/uploads/2009/05/sunrise.jpg
Petang berlalu pergi dengan cepat. Menarik-narik malam yang masih berselimut dalam lelap tidurnya yang abadi. Seketika, gulita menyergap. Aku kehilangan Aurora ku hari itu.

Mataku masih bertumbuk ke angkasa. Menyaksikan lembayung yang sedikit-demi sedikit memudar digerus gelap. Pada hakekatnya, demikianlah kehidupan. Berputar tanpa pernah berhenti. Ada harap dan doa terpanjat ketika hening semakin sempurna menyambangi tiap sudut bumi. Gelap dan terang berganti-ganti tanpa pernah cemburu untuk tampil lebih dulu. Tidak ada perasaan saling menguasai. Disini, semuanya berjalan dalam irama yang tepat dan indah.

Seketika, sebuah bintang jatuh di tatapan mata. Ia cemerlang. Hey, dia tidak jatuh. Dia menari-nari dalam orkestra malam. Lincah betul dia berlenggak-lenggok dalam keanggunan yang sempurna. Matanya menari riang. Memanggil-manggil ku untuk terbang menyentuhnya. Aku ingat apa yang dikatakan Aurora, tentang panas yang terpancar. Pikirku, bintang ini pun, pastilah sepanas itu. Tak bisa diraih dan di genggam dengan mudah.

“ Wahai, lelaki yang termenung,” tiba-tiba dia bersuara. Lirih. Namun buatku, lebih dari jelas. Dia senyaring suara petir dilangit tadi sore. “ Mengapa masih termenung sendirian disitu. Masih juga menunggu Aurora yang sudah pula pergi dan entah kapan kembali?” lanjutnya.

Aku heran. Bagaimana mungkin dia mengerti kisah ku dengan Aurora?

“ Apa kamu bintang?” tanyaku heran.

“ Iya. Seperti yang kau lihat. Aku bintang. Cahayaku terang dan sampai kebumi, bukan?”

“ Apa kau kenal dengan Aurora? Kenapa kau bisa tahu ceritaku dengan dia?
 tanyaku heran.

Dia tertawa kecil. “ Tentu saja aku kenal dia. Kami sama-sama diangkasa. Tempat ku dengan dia hanya berseberangan beberapa depa. Kami bersahabat.” Lanjutnya.

“ Kau tau, apa Tuhan juga ada di langit?” tanyaku. Sama persis ketika aku bertanya kepada Aurora sebelum dia pergi. Aku nekat. Jika memang itu begitu rahasia, dan Bintang tak juga menjawab, aku akan pasrah saja.
Bintang tertawa kecil. Lalu berputar beberapa kali. Berkelip-kelip lucu. Kemudian diam beberapa derajat dari tempat pertama dia berada.

Dia tidak marah, pikirku.

“ Lelaki yang termenung, Tuhan ada di hatimu. Bukan duduk dilangit, bukan duduk dibumi. Hanya hati didalam dunia ini yang sanggup untuk menjadi tempat Tuhan. Bentuknya, percaya. Jika kau percaya Dia ada, maka hatimu akan menjadi tempat yang paling aman untuk Tuhan. Dia mengerti dan mengikuti gerak hidupmu. Tahu detak jantungmu, bahkan sebelum kau sadar. Dan ketika kau lupa kepada-Nya, tak juga Dia pergi kemana-mana. Dia tetap dihati,” jelasnya.

Kata-kata itu, buatku seperti penyejuk. Bahwa selama ini, seperti aku tak pernah sadar keberadaan Tuhan dihati. Aku mempertanyakan keberadaan sesuatu yanng sebenarnya dekat sekali kepadaku. Seperti mencari semut diseberang samudra, sementara gajah ada di pelupuk mata. Semuanya bias.

“ Aurora berpesann sesuatu juga, kepadaku untuk mu,” kata Bintang memecah kebisuan.

“ Ah, benarkah?” aku kaget.

“ Iyah,”

“ Apa pesannya?”

“ Apakah kamu siap mendengar yang paling buruk sekalipun?”

“ Jadi ini adalah kabar buruk?”

“ Ya belum tentu. Aku hanya menyampaikan amanat darinya kepadamu. Baik dan buruk hanya padamu putusannya,”

“ Aku siap!” kataku mantap.

“ Baiklah. Dia berpesan, jika kau masih mau menemuinya, datanglah pada tempat berpuncak tiga, pada jam yang sama, 21 purnama dari sekarang,”

“ Dimana itu tempat berpucuk tiga?”
http://rainbowveins44.files.wordpress.com/2011/06/rainbow-2.jpg

“ Ini bumi mu bukan? Aku tinggal jauh ribuan kilometer dari bumi, mana pula aku tahu tempat itu. Carilah. Dan mantapkan hatimu. Percayalah!” katanya untuk terakhir kali. Sesaat kemudian Bintang hilang dalam gelap-pelan-pelan. 

Aku berfikir tentang tempat itu, dan belum mengerti. Tapi aku akan menjumpainya, dalam dua puluh satu purama setelah ini. Aku Percaya. Kami bertakdir jodoh.
(bmkr/0413)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny