Skip to main content

Lelaki : Belajar Menjadi Arif Pada Orang Baduy

Mereka, tidak pernah bertanya akan jadi orang seperti apa, kelak. Menjalani hidup dengan kesederhanaan yang mahsyur. Hidup mereka adalah bersinergi dengan mahluk lain, dengan tidak membuat hara kepada apapun. Mencintai sesama mahluk, dan memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya. Bersahabat dengan lingkungan, seperti seperti menjaga anak cucu, seperti menjaga ibu bapak yang membesarkan tanpa pernah tau artinya membenci.

Ketulusan itu, muncul serta merta dari tatapan mata dan raut wajah Sapri dan Tarmin. Dua remaja Baduy yang membawa kami, menembus hutan-hutan lebat di Baduy Dalam dan Baduy Luar. Tatapan itu begitu bening. Tak pernah terlintas curiga, tidak pula pura-pura. Semuanya seperti begitu adanya, seperti baru saja lahir kemarin sore. Bicara dengan dia, seperti bicara dengan air yang bening. Polos mengalir. Sapri, yang berusia 18 tahun, terlihat seperi 12 atau 13 tahun dimata saya. Dan hebatnya, dia akan menikah dua tahun mendatang. Kagum, rasanya.

Kawasan Ulayat Baduy, merupakan satu dari sekian banyak kawasan adat yang masih terjaga baik kelestariannya. Memasuki pedesaan Baduy, saya seperti menjelajah pada dunia yang belum pernah saya jamah. Rumah-rumah adat hampir mirip, satu dengan lainnya. Menurut saya, ini mencerminkan keseragaman pemikiran, sehingga strata sosial masyarakat menjadi setara. Tidak ada yang telalu kaya dengan rumah megah bertembok tinggi selangit, sementara disebelahnya, gubuk reyot yang bocor pada waktu hujan dan pengap ketika panas, doyong berdiri. Bilik dari bambu, yang memang banyak sekali ada disini, kayu dari hutan, yang konon ditebang hanya untuk kepentingan pembuatan rumah, semuanya saling menjaga.

Jalanan dari susunan bebatuan kali, menerobos pemukiman dan mengular, menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya. Jembatan-jembatan dengan konstruksi bambu, bergoyang-goyang ketika dilalui, sementara sungai dengan air jernih meriak dibawahnya. Bahkan, sebuah jembatan dari jalinan akar-akar yang merambat, membentuk sebuah jembatan yang menyebrangkan satu sisi sungai berair deras dengan sisi lainnya. Di beberapa bagian desa, lumbung-lumbung tempat pangan disimpan, ada diluar kampung. Jangan harapkan mendapat kemewahan listrik dan signal selular disini. Masyarakat Baduy Dalam, tidak perlu itu semua. Lampu sentir, yang berisi minyak kelapa meyala ditengah ruang serba guna, pada bangunan rumah panggung yang nampak mau roboh, ketika kami masuk. Terang ala kadarnya, namun cukup untuk membuat suasana ruangan ini menjadi hangat.

Sapri, sang pendamping kami, bercerita tentang banyak hal dalam kehidupan orang-orang Baduy. Banyak hal yang mereka turuti, tanpa ingin tahu alasannya. Kenapa mereka tidak boleh mengenakan alas kaki, naik kendaraan, salah satu contohnya. Ketika saya, bertanya kenapa, dia hanya menjawab dengan polosnya, begitu kata yang tua-tua. Rasanya, itu bukan jawaban, namun saya mengerti dan berhenti bertanya. Pada banyak hal, kadang kita harus ikut saja, tanpa harus tau apa-apa. Hingga kita akan tetap menjadi bijaksana. Yang tua, pasti punya alasan kuat kenapa begitu. Mungkin, dengan tidak pakai alas kaki, mereka menjadi lebih bebas mengembara di dalam hutan-hutan yang sangat memukau ini.

Membaur dalam kehidupan masyarakat Baduy, seakan membekukan jarum jam. Disini, waktu terasa tak pernah berputar. Saya berasa membeku dalam lingkaran waktu. Melihat, beberapa tetua kampung, berkumpul, ketika saya dan teman-teman lewat, mereka tersenyum ramah. Bahkan ketika kami, menyapa dengan permisi, mereka mengangguk, senyum dan bersuara pelan sekali. Dan lagi-lagi, tak ada terlihat kecurigaan sedikitpun dari sorot mata mereka. Tak ada sorot iri, karena kami mungkin berpakaian lebih berwarna. Jalanan penuh lumut, seperti tidak pernah terpapar sinar matahari, adalah jalanan yang harus kita lewati. Licin memang, buat kita yang tidak pernah atau baru bermain-main kesini. Hutan lebat tropis yang panas, tanjakan yang terjal, dan kadang bersisian dengan jurang yang menganga dalam. Namun, hampir pasti, pemandangan yang tersaji adalah lukisan indah tiada tara. Perbukitan menghijau dengan semburat kabut yang terbang diatasnya.

Malam hari disini, rasanya seperti malam-malam di film Robin Hood atau dunia magis Hobbit di Lord of The Ring. Tidak ada televisi, suara radio dan atau kecanggihan teknologi menembus. Kami, dilarang memotret, di Baduy Dalam. Dan lagi-lagi, saya berhenti bertanya, dan menghormati tanpa tau alasannya. Bukankah sudah terbukti, bahwa dengan tidak adanya gambar di mana-mana tentang Baduy Dalam, mereka masih seperti ini hingga sekarang? Suara jangkrik, dan binatang malam, gemericik air di sungai belakang rumah. Ah, mana lagi yang bisa memberikan kenikmatan tiada tara seperti ini. Rumah berdinding bilik, balai-balai dari bilih bambu, dan berbunyi krek-krek ketika diinjak, gelas dari pangkal ruas bambu, memasak dengan kayu bakar.

Di satu bagian lain, di Baduy Luar, saya mendapati perempuan-perempuan penumbuk padi. Ini cara mereka menyiapkan kebutuhan pangan. Bergotong royong mereka menumbuk dalam satu lesung panjang, dengan irama tumbukan seperti orkestra yang merdu. Di bagian lain, anak-anak kecil berwajah polos, duduk bergerombol diatas tumpukan karung-karung padi. Ketika seorang teman, menunjukkan photo yang diambil dari iPadnya, mereka antusias menunjuk diri mereka sendiri. Tertawa riang sesudahnya. Berbicara dan membahasnya dalam bahasa sunda yang menjadi bahasa mereka sehari-hari. Disini, masyarakatnya memang tidak seperti di Baduy Dalam, teknologi sudah mereka tahu. Namun, pada pengetahuan terbatas saja.

Budaya masyarakat Baduy yang luar biasa luhur, membuat saya terpekur. Betapa mereka menjaga sisi alam dengan pengetahuan turun temurun dan lestari seperti ini. Benturan dan infiltrasi modernisasi tidak serta merta menjadikan mereka kalap dan merubah warisan moyang mereka yang dulu-dulu, yang sudah mereka jaga ratusan, mungkin juga ribuan tahun. Lihat saja Sapri dan Tarmin, di abad ke-21, tahun 2013, mungkin dia tidak kenal apa itu Angry Bird atau Android. Yang di sini, adalah sarapan pagi dan teman ngopi remaja delapan belas tahun. Dua remaja tanggung Baduy Dalam itu, tidak pernah mengeluh menjadi manusia Baduy. Kebudayaan luhur yang mereka jaga tetap lekat dalam diri mereka. Tidak beralas kaki, berjalan kaki kemana-mana, ikat kepala putih, memakai baju dan celana dalam pola dan patern yang sama satu dengan yang lainnya, tanpa merasa terganggu.

Sebagai orang yang setengah kampung, saya pernah mengalami hal semacam Sapri dan Tarmin. Dalam masa kecil saya dulu, rumah berbilik bambu, jalanan berbatu, pohonan tinggi dan besar, meski bukan hutan, namun rasanya saya juga beruntung.

Betapa surga masih ada dibumi. Di Negeri elok bernama Baduy. (BMKR06/13) 
all photo by @boimakar
 
 
 
 


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny