BEKASI (MASIH) BERBUDAYA ..
Panas terik membakar ribuan
pengunjung di lapangan Padurenan, Kota Bekasi, Sabtu (24/8) lalu. Semuanya
antusias, membiarkan matahari memapar kulit mereka. Sementara satu-satu
rombongan dari empat kontingen Kelurahan yang ada di Kecamatan Mustikajaya beriringan
memasuki lapangan rumput tanah merah. Debu-debu beterbangan. Membumbung menuju
biru langit yang cerah sepanjang hari. Kecamatan Mustikajaya, Kecamatan Mustikasari, Kecamatan Cimuning, dan Kecamatan Padurenan selaku tuan rumah, berusaha menampilkan atraksi paling menarik.
Iring-iringan pawai, dibuka
dengan serombongan anak-anak sekolah dasar, berkostum mirip anggota kepolisian
lengkap. Kemudian disusul dengan rombongan remaja-remaja berpakaian hitam-hitam
khas pencak silat. Susul menyusul setalah itu, rombongan dengan pakaian putih
dan celana batik, berkopiah hitam, ondel-ondel, tanjidor, dan masih banyak
lagi. Mereka membentuk parade dengan bunyi-bunyian musik tradisional dan
dangdut yang diputar dengan volume keras-keras. Para penari, berlenggak-lenggok
sepanjang parade.
Yang paling menarik perhatian
adalah, usungan berwarna-warni dengan bendera Merah Putih kecil berkibar
dibeberapa tempat. Usungan ini, dipikul oleh empat orang membentuk segi empat.
Bukan satu, tapi beberapa orang melakukan hal yang sama. Ada juga, yang
membawanya dengan kendaraan yang sudah dimodifikasi membentuk serupa dengan
usungan tadi. Kertas wajik warna-marni menambah semarak benda besar yang
terlihat khas itu.
Itulah Dondang, atau ngenDon
danDang. Ngendon dalam bahasa Bekasi berarti Numpang atau menumpang. Sedang
Dandang adalah alat yang terbuat dari tembaga, biasanya, yang dipakai bersama
dengan kukusan, untuk menanak nasi.
Pada jaman dahulu, Dondang, merupakan
hantaran wajib bagi pengantin laki-laki ke pengantin perempuan. Isinya, berupa
makanan dan kebutuhan lain. Dondang, pada masa itu, digotong oleh empat orang,
secara bergantian, atau lebih, sesuai dengan besarnya, dan disampaikan kepada
keluarga mempelai perempuan sebagai salah satu syarat pernikahan. Ada juga,
yang dibawa dengan menghias gerobak dorong, dan sebagainya.
Dondang sendiri, memiliki makna
kearifan lokal yang sangat tinggi. Sikap
gotong royong dan berbagi diantaranya. Makanan yang ada didalam dondang,
akan dibagikan kepada sanak kerabat, karena merupakan hantaran yang sangat
banyak. Rasa persaudaraan inilah kemudian yang muncul sebagai kearifan lokal
yang harus tetap terjaga.
Sedangkan beduk, seperti
diketahui di Indonesia, merupakan benda yang umum dijumpai. Hampir dipastikan,
kita bisa melihat beduk
Festival Beduk & Dondang
2013, pekan lalu, merupakan upaya pelestarian budaya Bekasi yang begitu kaya
akan nilai-nilai luhur. Ini sudah penyelenggaran kali ke delapan, kata ketua
pelaksana kegiatan, yang ternyata adalah teman masa kecil saya. Dua tahun lalu,
saya menyaksikan acara serupa, tapi hanya selintas saja.
Penyelenggaraan tahun ini, memang
lebih meriah. Masing-masing Kelurahan yang
berpartisipasi, mempunyai tenda tampil sendiri-sendiri. Pendukung
masing-masing kelurahan itu, campur baur, menyoraki dan menyemangati para
penampil. Tari Topeng Bekasi, yang mengakar kepada Tari Topeng Betawi dari
Jakarta, menampilkan lenggak-lenggok tiga gadis remaja dengan pakaian yang
meriah, perpaduan merah dan kuning. Aksi baris-berbaris puluhan anak-anak usia
sekolah dasar memperagakan atraksi yang menawan dan lucu. Kemudian, disusul
dengan aksi sepasang ondel-ondel yang menari-nari dengan lincah ditengah kerumunan yang semakin meriah,
meski panas semakin membakar. Sementara di panggung lain, atrasi pukul beduk,
berpadu dengan keriuhan nyanyian lagu dangdut dengan beberapa penari pria yang
bebas berekspresi. Di sudut panggung yang lain, atraksi drumband anak-anak juga
tidak mau ketinggalan. Dan sudut panggung lainnya, rombongan pesilat dengan
cekatan menampilkan jurus-jurus silat dengan lincah. Tanjidor yang dimainkan
oleh para laki-laki berusia senja, mengalun penuh semangat. Bunyi terompet, gong,
dan gendang berpadu dalam harmonisasi yang khas.
Masing-masing panggung, juga
menampilkan sepasang muda-mudi yang dihias dengan balutan baju pengantin.
Petasan pun, tak lupa dibakar dan meledak ditengah-tengah lapangan. Diikuti
serpihan-serpihan kertas kecil beterbangan, dan asap putih tipis yang
membumbung ke langit biru. Dipanggung utama, sekelompok anak muda memainkan
musik yang lebih modern dengan lagu-lagu betawi karya almarhum Benjamin Sueb.
Acaranya, menarik. Namun, rundown
yang semerawut membuat susah untuk memilih panggung mana yang akan ditonton.
Semua yang diatas bermain bersamaan. Hingga hingar bingar membingungkan saya
yang entah harus memilih mana yang akan saya tonton. Semuanya menarik.
Terlepas dari semua carut
marutnya penyelenggaraan festival ini, upaya pelestarian budaya Bekasi yang
kian lama kian tergerus, patut diacungi jempol. Kapan lagi menikmati makanan
khas Bekasi seperti, Gabus Pucung, Geplak, Kue Picis, Dongkal, Kue Rangi,
Ongol-Ongol, Cucur, dan masih banyak lagi.
Sebagai orang bekasi, saya
berbangga hati, menyaksikan ini untuk kesekian kalinya. (bmkr/0813)
All photo by @boimakar
All photo by @boimakar
Tidak banyak agenda tradisi yg kemasannya berhasil menarik ketika dipadukan dengan berbagai hirup pikuk modern, seperti mobil, dan sound system yg menggelegar.
ReplyDeleteFestival Bedug dan Dondang di Bekasi itu pun termasuk yg belum berhasil. Memang bukan perkara gampang memadukan tradisi dengan yg modern.
Tradisinya layak dilestarikan, tapi harus hati-hati ketika mulai ditabrakkan dengan berbagi produk modern, seperti mobil, motor, odong-odong, marching band, dll.
Ada baiknya juga jika di dalam lapangan steril dari pedagang. Tanpa bermaksud mengusir orang yg mencari rejeki, panitia bisa menyediakan tempat yg layak untuk para pedagang itu di luar lapangan.
Dengan evaluasi, kemasan dan promosi yg lebih baik lagi, bukan tak mungkin bisa mengundang pengunjung internasional.