Skip to main content

LELAKI : CATATAN DARI FESTIVAL BEDUK DONDANG 2013


BEKASI (MASIH) BERBUDAYA ..
Panas terik membakar ribuan pengunjung di lapangan Padurenan, Kota Bekasi, Sabtu (24/8) lalu. Semuanya antusias, membiarkan matahari memapar kulit mereka. Sementara satu-satu rombongan dari empat kontingen Kelurahan yang ada di Kecamatan Mustikajaya beriringan memasuki lapangan rumput tanah merah. Debu-debu beterbangan. Membumbung menuju biru langit yang cerah sepanjang hari. Kecamatan Mustikajaya, Kecamatan Mustikasari, Kecamatan Cimuning, dan Kecamatan Padurenan selaku tuan rumah, berusaha menampilkan atraksi paling menarik.

Iring-iringan pawai, dibuka dengan serombongan anak-anak sekolah dasar, berkostum mirip anggota kepolisian lengkap. Kemudian disusul dengan rombongan remaja-remaja berpakaian hitam-hitam khas pencak silat. Susul menyusul setalah itu, rombongan dengan pakaian putih dan celana batik, berkopiah hitam, ondel-ondel, tanjidor, dan masih banyak lagi. Mereka membentuk parade dengan bunyi-bunyian musik tradisional dan dangdut yang diputar dengan volume keras-keras. Para penari, berlenggak-lenggok sepanjang parade.

Yang paling menarik perhatian adalah, usungan berwarna-warni dengan bendera Merah Putih kecil berkibar dibeberapa tempat. Usungan ini, dipikul oleh empat orang membentuk segi empat. Bukan satu, tapi beberapa orang melakukan hal yang sama. Ada juga, yang membawanya dengan kendaraan yang sudah dimodifikasi membentuk serupa dengan usungan tadi. Kertas wajik warna-marni menambah semarak benda besar yang terlihat khas itu.

Itulah Dondang, atau ngenDon danDang. Ngendon dalam bahasa Bekasi berarti Numpang atau menumpang. Sedang Dandang adalah alat yang terbuat dari tembaga, biasanya, yang dipakai bersama dengan kukusan, untuk menanak nasi.

Pada jaman dahulu, Dondang, merupakan hantaran wajib bagi pengantin laki-laki ke pengantin perempuan. Isinya, berupa makanan dan kebutuhan lain. Dondang, pada masa itu, digotong oleh empat orang, secara bergantian, atau lebih, sesuai dengan besarnya, dan disampaikan kepada keluarga mempelai perempuan sebagai salah satu syarat pernikahan. Ada juga, yang dibawa dengan menghias gerobak dorong, dan sebagainya.

Dondang sendiri, memiliki makna kearifan lokal yang sangat tinggi. Sikap  gotong royong dan berbagi diantaranya. Makanan yang ada didalam dondang, akan dibagikan kepada sanak kerabat, karena merupakan hantaran yang sangat banyak. Rasa persaudaraan inilah kemudian yang muncul sebagai kearifan lokal yang harus tetap terjaga.

Sedangkan beduk, seperti diketahui di Indonesia, merupakan benda yang umum dijumpai. Hampir dipastikan, kita bisa melihat beduk

Festival Beduk & Dondang 2013, pekan lalu, merupakan upaya pelestarian budaya Bekasi yang begitu kaya akan nilai-nilai luhur. Ini sudah penyelenggaran kali ke delapan, kata ketua pelaksana kegiatan, yang ternyata adalah teman masa kecil saya. Dua tahun lalu, saya menyaksikan acara serupa, tapi hanya selintas saja.

Penyelenggaraan tahun ini, memang lebih meriah. Masing-masing Kelurahan yang  berpartisipasi, mempunyai tenda tampil sendiri-sendiri. Pendukung masing-masing kelurahan itu, campur baur, menyoraki dan menyemangati para penampil. Tari Topeng Bekasi, yang mengakar kepada Tari Topeng Betawi dari Jakarta, menampilkan lenggak-lenggok tiga gadis remaja dengan pakaian yang meriah, perpaduan merah dan kuning. Aksi baris-berbaris puluhan anak-anak usia sekolah dasar memperagakan atraksi yang menawan dan lucu. Kemudian, disusul dengan aksi sepasang ondel-ondel yang menari-nari dengan  lincah ditengah kerumunan yang semakin meriah, meski panas semakin membakar. Sementara di panggung lain, atrasi pukul beduk, berpadu dengan keriuhan nyanyian lagu dangdut dengan beberapa penari pria yang bebas berekspresi. Di sudut panggung yang lain, atraksi drumband anak-anak juga tidak mau ketinggalan. Dan sudut panggung lainnya, rombongan pesilat dengan cekatan menampilkan jurus-jurus silat dengan lincah. Tanjidor yang dimainkan oleh para laki-laki berusia senja, mengalun penuh semangat. Bunyi terompet, gong, dan gendang berpadu dalam harmonisasi yang khas.

Masing-masing panggung, juga menampilkan sepasang muda-mudi yang dihias dengan balutan baju pengantin. Petasan pun, tak lupa dibakar dan meledak ditengah-tengah lapangan. Diikuti serpihan-serpihan kertas kecil beterbangan, dan asap putih tipis yang membumbung ke langit biru. Dipanggung utama, sekelompok anak muda memainkan musik yang lebih modern dengan lagu-lagu betawi karya almarhum Benjamin Sueb.

Acaranya, menarik. Namun, rundown yang semerawut membuat susah untuk memilih panggung mana yang akan ditonton. Semua yang diatas bermain bersamaan. Hingga hingar bingar membingungkan saya yang entah harus memilih mana yang akan saya tonton. Semuanya menarik.

Terlepas dari semua carut marutnya penyelenggaraan festival ini, upaya pelestarian budaya Bekasi yang kian lama kian tergerus, patut diacungi jempol. Kapan lagi menikmati makanan khas Bekasi seperti, Gabus Pucung, Geplak, Kue Picis, Dongkal, Kue Rangi, Ongol-Ongol, Cucur, dan masih banyak lagi.

Sebagai orang bekasi, saya berbangga hati, menyaksikan ini untuk kesekian kalinya. (bmkr/0813)
All photo by @boimakar

Comments

  1. Tidak banyak agenda tradisi yg kemasannya berhasil menarik ketika dipadukan dengan berbagai hirup pikuk modern, seperti mobil, dan sound system yg menggelegar.

    Festival Bedug dan Dondang di Bekasi itu pun termasuk yg belum berhasil. Memang bukan perkara gampang memadukan tradisi dengan yg modern.

    Tradisinya layak dilestarikan, tapi harus hati-hati ketika mulai ditabrakkan dengan berbagi produk modern, seperti mobil, motor, odong-odong, marching band, dll.

    Ada baiknya juga jika di dalam lapangan steril dari pedagang. Tanpa bermaksud mengusir orang yg mencari rejeki, panitia bisa menyediakan tempat yg layak untuk para pedagang itu di luar lapangan.

    Dengan evaluasi, kemasan dan promosi yg lebih baik lagi, bukan tak mungkin bisa mengundang pengunjung internasional.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny