Kerlap Kunang-Kunang
Dalam satu jam, masakan kami sudah siap. Ada nasi hangat, yang sebetulnya saya bungkus dari bawah dan saya hangatkan, ada tempe goreng dan irisan cabai hijau besar, dimasak ala kadarnya, kemudian ada juga mie rebus yang disulap jadi sayur. Lengkap. Dengan kerupuk yang memang ternyata sudah disiapkan juga. Rasanya nikmat betul, makan berempat. Elang tidak makan. Dan kata mas Gatot, kalau nanti lapar, dia pasti bangun dan akan minta sendiri. Jadi kami membiarkan dia tidur selagi bersantap.
“ Umur mereka pendek, Mas. Tanpa pernah sekalipun mereka letih memancarkan
sinarnya setiap gelap datang. Hidup mereka efisien. Lahir, berguna dan mati. Meski
tidak pernah dikenang, tapi rasanya mereka sudah berbuat maksimal. Selama tiga minggu,
mereka mencurahkan daya upaya, tanpa kenal lelah untuk menyalakan diri. Memberi
suasana gelap malam menjadi indah. Mengantarkan tawa buat anak-anak ketika mereka
berebut menangkapnya, kemudian menyekapnya dalam botol dan gelas. Atau bahkan menjadi
bait-bait puisi untuk para pecinta yang dimabuk asmara. Begitu, kan?” kali ini,
mas Gatot yang bicara.
Jauh melayang dengan terangnya,
Kemudian hilang.
Entah, karena mati
Atau karena memang sudah terlalu jauh dari pandang mata
Seperti seleksi penerimaan murid disekolah-sekolah
Yang kuat bertahan
Yang lemah akan pindah mencari tempat baru
Dan aku..
Nyaris lebih banyak diam, ketika kami memasak. Mas Gatot dan dua
temannya berbicara lirih dalam bahasa Jawa. Elang, sudah di pindahkan kedalam
tenda prisma kecil, yang rasanya memang tidak akan cukup ditempati mereka
semua. Dia terlelap sesudah memakan makanan warung tadi. Mungkin karena terlalu
letih. Jadinya langsung tidur. Suara benturan nesting tentara dengan sendok
untuk mengaduk, beberapa kali terdengar. Rasanya janggal juga, tidak berbicara
banyak waktu masak begini. Saya memasak sendirian. Merebus air untuk membuat
teh, sementara mereka sibuk memasak yang lainnya. Dan ketika dua gelas besar
teh panas siap, saya sodorkan kepada mereka. Karena akan makan, jadi kita minum
teh saja, begitu alasan saya.
photo by @qisyuteakar |
Dalam satu jam, masakan kami sudah siap. Ada nasi hangat, yang sebetulnya saya bungkus dari bawah dan saya hangatkan, ada tempe goreng dan irisan cabai hijau besar, dimasak ala kadarnya, kemudian ada juga mie rebus yang disulap jadi sayur. Lengkap. Dengan kerupuk yang memang ternyata sudah disiapkan juga. Rasanya nikmat betul, makan berempat. Elang tidak makan. Dan kata mas Gatot, kalau nanti lapar, dia pasti bangun dan akan minta sendiri. Jadi kami membiarkan dia tidur selagi bersantap.
Seekor kunang-kunang terbang menyeliap diantara kami berempat. Kelip cahayanya, berbaur bersama pecahan bara kayu
api unggun yang terbakar dan terbang dihembus angin malam. Kemudian ia menjauh
ketika nyala api membesar. Saya menatap gerak perlahannya. Sinarnya redup,
berebut terang dengan bara yang beterbangan
dan lampu-lampu perkampungan dikejauhan, yang kalau dilihat dari sini, nyaris
sama besar dengan kunang-kunang tersebut. Pelan sekali dia terbang. Seperti
enggan meninggalkan kehangatan kami berempat dalam api unggun dan teh panas
yang nyaman ini. Kenangan saya tentang kunang-kunang, rasanya sudah lama sekali
tenggelam. Mahluk kecil bercahaya itu, buat saya selalu mempesona. Pada masa
kecil, saya pernah berlarian mengejar segerombolan kunang-kunang dan memasukkannya dalam gelas dan menutupnya
dengan plastik. Seperti lampu listrik. Masa itu, kampungku belum ada listrik.
Jadi inilah yang saya anggap lampu listrik saya pertama kali. Kemudian kami
akan mencari jamur fosfor, pada rimbunan pohon bambu. Dan dengan keduanya, kami
berjalan malam-malam untuk penerangan. Sudah lama sekali, pikir saya.
“ Kunang-kunang itu, kasihan juga yah? “ gumamku. Sebenarnya tidak ingin
menarik perhatian siapapun. Namun tidak ayal juga menimbulkan komentar dari mereka
bertiga.
“ Kenapa kasihan?” teman mas Gatot yang menyela.
“ Iya. Lihat saja dia. Punya nyala lampu untuk menerangi sekelilingnya,
tapi tidak menikmatinya sendiri. Dan yang tadi kesini itu, sendirian kemana-mana.
Mungkin dia terpisah dari rombongannya. Mungkin dia dikucilkan karena nyalanya tidak
secantik yang lainnya. Mungkin juga, dia memang minder karena merasa begitu,” jawabku
seenaknya.
Yang lain tertawa. Mungkin lucu juga mendengar celoteh ku yang seperti
asal bicara. Namun, suasana kemudian menjadi lebih santai,
“Mas. Kunang-kunang itu, bukannya tidak pernah menikmati cahaya nya. Dia
tetap menikmatinya. Dengan cara yang berbeda, dari yang menikmati cahayanya. Bisa
jadi, dia merasa bahagia. Tapi apa kemudian dia memadamkan nyalanya? Kan tidak.
Dia sudah memenuhi kodratnya. Memberi terang, tanpa meminta pamrih kepada siapapun,”
kata kawannya yang lain.
“ Begitu yah?” aku tertegun. Berfikir bagaimana mereka bisa begitu arif
cerita tentang kunang-kunang.
photo by google |
“ Rasanya, benar juga sih. Tapi mungkin juga mereka marah dan komplen.
Tapi kita itdak bisa mengerti bahasanya, jadi tidak tahu,” sanggahku.
“ Karena itu pula. Jangan marah dan komplen kepada sesuatu yang tidak benar-benar
dimengerti. Ada banyak hal yang tidak harus dimenerti. Kenapa umur kunang-kunang
hanya tiga minggu paling lama? Apa gunanya hidup hanya sependek itu? Begitu mungkin
yang ada dalam benak kita. Tapi, kita tidak perlu mengerti hal hingga kesana. Bisa
jadi, jika umurnya lebih dari itu, mereka akan lebih menderita waktu mati,” lanjutnya.
“ entahlah,” aku menyerah.
Gelas-gelas yang kosong, kembali diisi. Kali ini, kopi pahit dan seonggok
kacang kulit bakar. Yah, kacang tanah, yang dikeringkan, dengan disangrai saja.
Kulitnya masih membungkus isinya. Rasanya akan garing sekali. Cocok dengan kopi
pahit. Saya pernah makan ini, ketika pertemuan dengan mas Gatot pertama kali.
Tadinya, aku akan meneruskan ceritaku. Namun, topik tentang kunang-kunang
dan filosopi yang keluar dari para petani tembakau itu, cukup memukau ku. Bagaimana
mereka bisa membuat aku terpesona dengan pemikiran seperti itu? Siapa sebenarnya
mereka ini? Batinku.
Yang datang dan yang pergi
Sama seperti percikan bara yang dihempas
anginJauh melayang dengan terangnya,
Kemudian hilang.
Entah, karena mati
Atau karena memang sudah terlalu jauh dari pandang mata
Tidak ada yang bisa pasti menyimpulkannya.
Rasanya, begini juga kehidupan
Yang datang dan yang pergiSeperti seleksi penerimaan murid disekolah-sekolah
Yang kuat bertahan
Yang lemah akan pindah mencari tempat baru
Tenggelam dalam panorama kunang-kunang
Luruh dalam kuning cahayanya...
Bersambung (bmkr/291013)
Comments
Post a Comment